Polemik Zonasi Penangkapan Ikan: KKP Berupaya Redam Keluhan Nelayan Muara Angke

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah berupaya merespons keluhan yang dilayangkan oleh para nelayan di Muara Angke terkait implementasi sistem zonasi penangkapan ikan. Kebijakan ini menuai protes karena dianggap membatasi ruang gerak nelayan dalam mencari nafkah di laut.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono, menjelaskan bahwa penetapan zonasi bertujuan untuk meminimalisir potensi konflik horizontal antar nelayan terkait wilayah penangkapan. Ia menganalogikan sistem zonasi ini dengan trayek transportasi umum, dimana setiap rute memiliki wilayah operasional yang telah ditentukan.

"Analogi sederhananya seperti angkutan kota (angkot). Jika tidak diatur, angkot dari Bogor bisa saja mengambil penumpang di Bekasi. Tentu ini tidak diperbolehkan karena sudah ada pembagian wilayah. Angkot Bogor beroperasi di Bogor, dan angkot Bekasi di Bekasi, kecuali untuk bus yang melayani rute lintas daerah," jelas Pung di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Pung, apabila nelayan ingin melakukan penangkapan ikan di wilayah yang lebih luas, maka harus menggunakan kapal yang lebih besar dan memenuhi persyaratan perizinan yang berlaku. Dengan demikian, aturan zonasi dan klasifikasi penangkapan ikan berdasarkan ukuran kapal bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keberlanjutan sumber daya perikanan di laut.

"Jika tidak ada aturan, potensi konflik horizontal di tengah laut akan sangat tinggi. Kami hadir untuk mencegah hal tersebut," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan KKP, Halid Yusuf, menambahkan bahwa penghapusan sistem zonasi penangkapan ikan memerlukan perubahan regulasi yang mendalam dan komprehensif. Perubahan ini harus didasarkan pada kajian yang matang dan mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.

"Mengubah regulasi memerlukan kajian mendalam, bukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan sesaat. Kita harus mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar dan keberlanjutan sumber daya perikanan," ujar Halid.

Sebelumnya, para nelayan di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, menyampaikan keluhan terkait penerapan sistem zona penangkapan ikan oleh KKP. Mereka merasa dirugikan karena tidak dapat bebas mencari ikan di seluruh perairan yang potensial.

Para nelayan Muara Angke diberikan opsi untuk mengurus izin penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, atau di WPP 712 yang mencakup Laut Jawa.

Nunung (60), seorang pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sekaligus Ketua RW 21 Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, mengungkapkan bahwa mayoritas nelayan di Muara Angke saat ini memilih untuk beroperasi di Laut Jawa.

"Saat ini, hasil tangkapan di WPP 711 sedang melimpah, namun nelayan yang memiliki izin untuk WPP 712 tidak diperbolehkan menyeberang ke WPP 711," kata Nunung saat melakukan aksi demonstrasi di Pengedokan Kapal, Muara Angke, beberapa waktu lalu.

Nunung menjelaskan bahwa jika nelayan beroperasi di WPP 711, mereka tidak dapat membawa hasil tangkapan mereka ke Jakarta dan harus menjualnya di lokasi tersebut. Sementara itu, harga ikan di wilayah Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan cenderung lebih rendah, sehingga menyebabkan kerugian bagi nelayan.

"Fasilitas di sana (WPP 711) juga tidak memadai, dan harga ikan lebih rendah dibandingkan di Jakarta. Tidak mungkin kami menjual hasil tangkapan di sana karena tidak akan menutupi biaya operasional," ungkapnya.

Nunung menambahkan bahwa kebijakan zonasi penangkapan ikan ini telah berlaku sejak tahun 2023 dan seringkali menyebabkan kerugian bagi nelayan. Ia mencontohkan bahwa belum lama ini, ia memberangkatkan lima kapal dengan biaya operasional lebih dari Rp 300 juta per kapal. Namun, hasil tangkapan mereka tidak mencapai Rp 1 miliar.

Sebelum adanya sistem zonasi, pendapatan satu kapal dapat mencapai Rp 500 juta hingga Rp 600 juta dalam sekali melaut. Dengan pendapatan tersebut, nelayan dapat dengan mudah membagi hasil dengan pemilik kapal dan anggota tim lainnya. Namun, jika pendapatan kurang dari Rp 500 juta, pembagian keuntungan menjadi sulit.

Oleh karena itu, Nunung dan ratusan nelayan lainnya berharap agar KKP segera mencabut pemberlakuan zonasi penangkapan ikan. Mereka menginginkan kebebasan dan fleksibilitas dalam mencari nafkah di laut.

"Kami berharap nelayan diberikan keluasan dan kebebasan untuk mencari ikan," pungkas Nunung.