Kejanggalan Kelulusan Tersangka Kasus Perundungan di Undip Picu Sorotan Menteri Kesehatan

Polemik Kelulusan Mahasiswa Kedokteran Tersangka Perundungan Mencuat ke Publik

Kasus dugaan perundungan yang melibatkan seorang mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dengan inisial ZYA, kembali menjadi sorotan publik. Hal ini dipicu oleh kelulusannya dalam Uji Sertifikasi Kompetensi (Serkom) yang dianggap janggal, mengingat statusnya sebagai tersangka dalam kasus yang menewaskan seorang dokter.

Keheranan publik semakin bertambah ketika muncul dugaan bahwa ZYA lulus lebih cepat dari seharusnya. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa ZYA baru berada di semester 5, sementara persyaratan kelulusan program studi tersebut mensyaratkan minimal 8 semester. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai prosedur dan mekanisme yang memungkinkan seorang mahasiswa dengan status hukum yang belum jelas dan masa studi yang belum memenuhi syarat, dapat dinyatakan lulus.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin turut angkat bicara mengenai polemik ini. Ia menyatakan keheranannya atas kelulusan ZYA dan memerintahkan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan investigasi mendalam.

"Kita mempertanyakan, kok bisa diloloskan? Ini kita masih dalami," ujar Menkes Budi.

Menkes Budi juga menyoroti ketidaksesuaian antara masa studi ZYA dengan persyaratan kelulusan. Ia mempertanyakan bagaimana seorang mahasiswa yang belum menyelesaikan studi delapan semester dapat lulus lebih cepat. Perintah investigasi ini diharapkan dapat mengungkap fakta yang sebenarnya dan memberikan kejelasan kepada publik.

Kelulusan ZYA yang diumumkan melalui akun Instagram Undip pada tanggal 12 April lalu, memicu reaksi keras dari masyarakat. Unggahan tersebut kemudian dihapus, dan kelulusan ZYA ditangguhkan berdasarkan keputusan rapat kolegium anestesiologi dan terapi intensif pada tanggal 18 April 2024.

Kasus ini menjadi sorotan tajam karena melibatkan isu perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran, yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi para calon dokter. Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pendidikan, terutama dalam hal penilaian dan kelulusan mahasiswa.

Penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes diharapkan dapat mengungkap kebenaran di balik polemik ini dan memberikan rekomendasi untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh institusi pendidikan tinggi di Indonesia untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan aturan, serta menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari perundungan dan kekerasan.