Studi Ungkap Kerentanan Perempuan Terhadap Jeratan Pinjaman Online: Analisis Psikologis dan Faktor Pemicu

Lonjakan popularitas pinjaman online (pinjol) terus berlanjut, didorong oleh kemudahan dan janji keuntungan instan. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersembunyi potensi kerugian besar bagi mereka yang gagal melunasi pinjaman. Data terkini menunjukkan bahwa perempuan secara disproporsional lebih banyak terjerat dalam pusaran pinjol.

Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam penyaluran pinjaman kepada perempuan, naik dari 52,3% menjadi 54,8%. Fakta ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa perempuan lebih rentan terhadap godaan pinjol? Atika Dian Ariana, seorang Dosen Psikologi dari Universitas Airlangga (Unair), memberikan perspektif psikologis yang mendalam tentang fenomena ini.

Atika menyoroti beberapa faktor kunci yang berkontribusi pada kerentanan perempuan terhadap pinjol. Salah satunya adalah dominasi perempuan dalam aktivitas belanja, terutama belanja online. Fleksibilitas perempuan dalam memilih barang saat berbelanja juga memainkan peran penting. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung membeli barang secara langsung, perempuan lebih mempertimbangkan berbagai pilihan sebelum membuat keputusan.

Selain itu, fenomena fear of missing out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan tren, juga menjadi pendorong utama. Perempuan seringkali merasa terdorong untuk membeli barang hanya karena ingin mengikuti tren yang sedang populer di kalangan teman-temannya. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pengeluaran yang signifikan, memaksa mereka untuk mencari solusi instan melalui pinjol.

Iklan pinjol yang agresif, terutama di media sosial, turut memperburuk situasi. Perempuan yang menghabiskan banyak waktu scrolling di media sosial sering terpapar promosi pinjol dari influencer. Paparan berulang-ulang terhadap iklan-iklan ini dapat meningkatkan kemungkinan mereka untuk mencoba pinjol.

Dampak psikologis yang dialami oleh korban pinjol seringkali sangat menghancurkan. Mereka dapat mengalami perasaan tertekan, stres berat, bahkan depresi. Jika korban tidak memiliki penghasilan yang stabil, mereka juga dapat merasa malu dan dicemooh oleh lingkungan sekitar.

Untuk mengatasi dampak psikologis ini, Atika menekankan pentingnya menumbuhkan rasa tanggung jawab, mengajarkan konsekuensi dari setiap pilihan, serta membentuk pola pikir yang lebih luas. Dukungan dari lingkungan sekitar juga sangat penting dalam proses pemulihan.

Atika mengingatkan bahwa menjaga kesehatan mental dan kebahagiaan diri sendiri lebih penting daripada sekadar mengikuti tren atau menuruti perkataan orang lain. Ia menyarankan untuk membiasakan pola hidup sehat dengan berhenti membandingkan diri dengan orang lain, baik secara offline maupun online, serta memberikan reward pada diri sendiri jika memang layak tanpa memaksakan diri.