Prabowo Subianto Jajaki Dialog dengan Kelompok 'Indonesia Gelap' untuk Samakan Persepsi
Presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan keinginannya untuk berdiskusi dengan kelompok yang menamakan diri "Indonesia Gelap". Tujuan dari dialog ini adalah untuk menjembatani perbedaan persepsi mengenai kondisi bangsa, antara narasi "Indonesia Gelap" dan visi "Indonesia Terang" yang diusung pemerintah.
Prabowo menekankan pentingnya memahami perspektif kelompok "Indonesia Gelap" secara langsung. Ia ingin menggali lebih dalam mengenai alasan di balik penggunaan istilah tersebut, serta menawarkan kerjasama untuk mengatasi permasalahan yang ada. "Jika memang ada kegelapan, mari kita kerja supaya Indonesia tidak gelap," ujarnya.
Kelompok "Indonesia Gelap" sendiri merupakan entitas yang belum terstruktur secara formal. Mereka dipersatukan oleh keprihatinan terhadap isu-isu krusial seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan kemunduran demokrasi. Nama "Indonesia Gelap" muncul dan berkembang di kanal media sosial sebagai simbol aktivisme sipil.
Gerakan Aksi Kamisan di depan Istana Negara, yang dipelopori oleh Ibu Sumarsih sebagai bentuk perjuangan atas kematian putranya dalam Tragedi Semanggi, menjadi salah satu representasi perlawanan moral yang konsisten dari kelompok ini.
"Indonesia Gelap" juga muncul sebagai respons terhadap berbagai kebijakan kontroversial, termasuk upaya revisi Undang-Undang yang dianggap mengancam independensi Mahkamah Konstitusi (MK) dan mengakomodasi kepentingan politik tertentu.
Kelompok ini mengusung "Asta Tuntutan Rakyat", yang mencakup berbagai isu krusial:
- Penolakan terhadap kembalinya militer ke jabatan sipil melalui revisi UU TNI.
- Kritik terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
- Sorotan terhadap kemunduran demokrasi.
- Gugatan terhadap korupsi yang merajalela.
- Perhatian terhadap kesenjangan sosial yang semakin lebar.
- Kritik terhadap politik yang telah menjadi industri dan kartel.
- Sorotan terhadap penyatuan oligarki kapital dan politik.
- Kecaman terhadap praktik pelacuran intelektual oleh elite.
Di sisi lain, pemerintah meyakini bahwa program-programnya, seperti Makan Bergizi Gratis dan pengembangan 80.000 Koperasi Merah Putih, akan membawa "Indonesia Terang". Program ini melibatkan ahli-ahli asing dan dukungan dari mantan presiden, yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Perbedaan pandangan yang mendalam ini membuat dialog menjadi krusial. Dialog yang dimaksud bukan sekadar tanya jawab, melainkan partisipasi bermakna yang melibatkan semua pihak.
Narasi "Indonesia Gelap" dipandang sebagai penyeimbang yang penting dalam sistem demokrasi, terutama ketika oposisi parlemen mengalami disfungsi dan lembaga perwakilan daerah tidak berfungsi optimal.
Kelompok "Indonesia Gelap" juga melibatkan para intelektual dan akademisi terkemuka dari berbagai universitas, seperti Sukidi Mulyadi (Harvard University), Bivitri Susanti (STH Jentera), Fathul Wahid (UII Yogyakarta), Feri Amsari (Universitas Andalas), Zainal Arifin Mochtar (UGM), dan Sulistyowati Irianto (UI). Mereka terus menyuarakan kritik dan menyalakan ingatan serta perlawanan moral.
Dalam konteks teori kekuasaan Max Weber, legitimasi publik menjadi kunci. Ketika sebagian masyarakat masih mempertanyakan legitimasi negara, dialog menjadi pilihan yang lebih baik daripada represi.
Prabowo, sebagai figur yang kuat dengan latar belakang militer dan dukungan politik yang luas, memilih untuk membuka ruang dialog. Langkah ini dapat dilihat sebagai upaya untuk merangkul semua elemen masyarakat dan mencari solusi bersama.
Namun, dialog juga memiliki potensi risiko. Jika dialog hanya menjadi strategi pelunakan atau kooptasi tanpa perubahan substansial, maka hal itu dapat merugikan gerakan sipil dan mengurangi kepercayaan publik.
Oleh karena itu, kelompok "Indonesia Gelap" perlu mempersiapkan diri dengan matang, membawa peta jalan yang jelas, dan merumuskan tuntutan rakyat yang konkret, seperti komitmen pada demokrasi, negara hukum, reformasi partai politik, UU Perampasan Aset, dan pembersihan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dialog tidak hanya menjadi program "Anda bertanya, Presiden menjawab...", tetapi menjadi forum yang menghasilkan perubahan nyata.