Menghadapi Stigma Perceraian di Usia Paruh Baya: Pandangan Para Ahli
Menghadapi Stigma Perceraian di Usia Paruh Baya: Pandangan Para Ahli
Perceraian, khususnya di usia 40-an ke atas, seringkali diiringi stigma negatif yang dapat memberikan tekanan emosional signifikan bagi individu yang mengalaminya. Hal ini diungkapkan oleh berbagai pakar, menyusul pernyataan aktris Asri Welas yang secara terbuka membahas pengalamannya menghadapi stigma tersebut setelah bercerai di usia 40-an. Asri Welas sendiri mengungkapkan kesulitannya menghadapi pandangan negatif masyarakat terhadap status single di usia tersebut, mengatakan, "(Single) di 40 tahun? Enggak ada enak-enaknya sama sekali." Pernyataan ini menyoroti realitas pahit yang dihadapi banyak orang yang mengalami perceraian di usia paruh baya.
Coach Deny Hen, konselor pernikahan dan pendiri Pembelajar Hidup, menjelaskan bahwa stigma negatif seputar perceraian seringkali menimbulkan kerugian bagi mereka yang mengalaminya. Komentar-komentar sinis dan penilaian negatif yang seringkali muncul dapat menimbulkan luka batin yang mendalam. "Kadang rasa gagal dan luka itu menusuk sekali, terlebih jika ada ucapan-ucapan dari orang lain yang memojokkan kita," ujar Coach Deny. Ia menekankan bahwa meski perceraian bukanlah hal yang ideal, merendahkan individu yang bercerai sama sekali tidak dibenarkan. Sebagai solusi praktis, Coach Deny menyarankan untuk sementara waktu menonaktifkan akun media sosial atau bahkan menghapus aplikasi tersebut dari perangkat untuk mengurangi paparan komentar-komentar negatif yang dapat memperburuk kondisi emosional.
Senada dengan Coach Deny, Psikolog klinis Nirmala Ika juga menyarankan agar individu yang menghadapi stigma perceraian untuk tidak terlalu mempedulikan komentar-komentar negatif dari orang lain. "Kita tidak bisa mengontrol orang lain, yang bisa kita lakukan hanya memastikan diri kita menjadi individu yang baik dan menjalani kehidupan kita dengan kebijaksanaan dan bertanggung jawab," jelas Nirmala. Ia menambahkan bahwa energi yang seharusnya digunakan untuk menanggapi komentar negatif sebaiknya dialokasikan untuk aktivitas yang lebih produktif dan membangun. Mencoba untuk mengabaikan komentar-komentar tersebut dan fokus pada pemulihan diri serta kesejahteraan mental menjadi hal yang lebih penting.
Lebih lanjut, Nirmala menekankan pentingnya untuk tidak membiarkan komentar orang lain mempengaruhi kehidupan pribadi. "Belajar untuk tidak usah terlalu peduli dan memasukkan hati," pesannya. Menghadapi perceraian di usia 40-an memang penuh tantangan, namun dengan strategi yang tepat dan dukungan yang memadai, individu dapat melewati masa sulit ini dan membangun kehidupan baru yang lebih baik. Mencari dukungan dari keluarga, teman, atau terapis profesional dapat membantu dalam proses penyembuhan dan penerimaan diri.
Kesimpulannya, stigma negatif terhadap perceraian di usia paruh baya merupakan realitas yang perlu diatasi. Dengan memahami dampak psikologis dari stigma tersebut dan menerapkan strategi penanganan yang tepat, individu yang bercerai dapat melindungi kesejahteraan mental mereka dan memulai babak baru kehidupan dengan lebih percaya diri.