Indonesia Dapatkan Tambahan Pendanaan dari Bank Dunia untuk Penataan Ruang
Pemerintah Indonesia akan menerima tambahan pinjaman dari Bank Dunia untuk mendukung program penataan tata ruang yang dikenal sebagai Integrated Land Administration and Spatial Planning Program (ILAS PP). Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan lahan serta perencanaan tata ruang di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, Indonesia telah menerima pinjaman lunak sebesar US$ 653 juta atau setara dengan Rp 10,97 triliun (dengan kurs Rp 16.800) untuk menjalankan ILAS PP. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menjelaskan bahwa ILAS PP merupakan program kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Dukungan pinjaman dari Bank Dunia telah disetujui dan akan dilaksanakan selama 5 tahun.
Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Nusron Wahid menyampaikan bahwa total pinjaman sebesar US$ 653 juta akan digunakan secara bersama-sama oleh tiga kementerian. Ia juga mengungkapkan bahwa Bank Dunia akan memberikan tambahan pinjaman pada tahun mendatang dengan bergabungnya dua kementerian lainnya, yaitu Kementerian Kehutanan dan Kementerian Transmigrasi. Namun, Nusron tidak merinci besaran tambahan pinjaman tersebut.
Dana pinjaman ini akan dialokasikan untuk beberapa program utama, antara lain:
- Percepatan Perencanaan Tata Ruang Responsif Iklim: Program ini bertujuan untuk mempercepat penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang adaptif terhadap perubahan iklim. Pemerintah menargetkan penyelesaian 2.000 RDTR di seluruh Indonesia pada tahun 2028 untuk mempermudah pelayanan investasi.
- Penguatan Hak Atas Tanah dan Pengelolaan Lanskap: Program ini mencakup sosialisasi dan pendaftaran tanah ulayat, percepatan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), serta pengukuran batas-batas wilayah hutan, transmigrasi, dan Areal Penggunaan Lain (APL) untuk menghindari tumpang tindih.
- Program Batas Desa: Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memperjelas batas-batas wilayah desa.
- Sistem Informasi Pertanahan dan Penilaian: Program ini dijalankan oleh ATR/BPN untuk meningkatkan sistem informasi pertanahan dan penilaian properti.
- Peta Dasar Skala Besar untuk Aksi Iklim (One Map Policy): Program ini diimplementasikan oleh BIG untuk menghasilkan peta dasar skala besar yang mendukung aksi iklim. Pada tahun 2024, One Map Policy skala 1:5 ribu telah diselesaikan di Sulawesi. Rencananya, program ini akan dikembangkan di Kalimantan dan Pulau Jawa pada tahun ini, Sumatera dan Nusa Tenggara pada tahun 2026, serta Maluku dan Papua pada tahun 2027.
Nusron Wahid menjelaskan bahwa ketersediaan peta dasar skala besar akan mempermudah pemerintah kabupaten dan kota dalam menyusun RDTR. Biaya penyusunan RDTR, yang berkisar antara Rp 3 hingga 5 miliar per RDTR, sebagian besar dialokasikan untuk penyusunan peta 1:5 ribu. Tanpa RDTR, proses pengajuan izin, terutama Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), akan menjadi lebih sulit dan lambat.
Selain itu, dana pinjaman juga akan digunakan untuk manajemen proyek dan pengembangan kapasitas. Program ini telah dimulai sejak 14 April 2025 dengan melibatkan Bank Dunia. Meskipun demikian, terdapat sedikit kendala terkait proses administrasi penganggaran yang masuk ke APBN akibat efisiensi anggaran.
Sebelumnya, Nusron Wahid juga pernah membahas tentang pinjaman dari Bank Dunia tersebut. Kementerian ATR/BPN menerima dana pinjaman sebesar US$ 353 juta atau setara dengan Rp 5,7 triliun. Dana tersebut akan dialokasikan untuk penyusunan RDTR dan pemetaan tanah, terutama untuk tanah-tanah yang belum dipetakan. Anggaran tersebut juga digunakan untuk penataan tapal batas dengan kawasan hutan dan lahan transmigrasi, pemetaan dan pendaftaran tanah adat ulayat, serta pengembangan sistem informasi pertanahan.