Respons Bank Indonesia Terhadap Kekhawatiran AS Soal Sistem Pembayaran Digital Nasional

Bank Indonesia (BI) menanggapi kekhawatiran yang diungkapkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) mengenai implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Pemerintah AS menilai bahwa kedua sistem pembayaran ini berpotensi menghambat perdagangan luar negeri. Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menegaskan bahwa penerapan QRIS dan sistem pembayaran cepat lainnya sangat bergantung pada kesiapan masing-masing negara.

Indonesia, menurut Destry, selalu terbuka untuk menjalin kerja sama dengan negara lain tanpa diskriminasi. "Intinya, kerja sama kita dengan negara lain terkait QRIS ataupun fast payment lainnya sangat tergantung pada kesiapan masing-masing negara. Kami tidak membeda-bedakan. Jika Amerika Serikat siap, kita juga siap, kenapa tidak?" ujarnya di Jakarta.

Kekhawatiran AS mengenai QRIS dan GPN sebelumnya tercantum dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025. Laporan tersebut merinci hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Dalam laporan tersebut, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyoroti kebijakan Indonesia yang dianggap dapat menghambat perdagangan digital dan elektronik, yang berpotensi memengaruhi perusahaan-perusahaan AS.

Salah satu poin utama kekhawatiran adalah implementasi QRIS dan GPN. Perusahaan penyedia jasa pembayaran dan bank asal AS merasa khawatir karena sistem ini dianggap memaksa penggunaan sistem dalam negeri dan mengecualikan opsi lintas batas. Hal ini dinilai dapat menciptakan hambatan pasar. Ketentuan BI yang mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan berlisensi oleh BI menjadi sorotan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/08/2017 tentang GPN juga memberlakukan pembatasan ekuitas asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN. Selain itu, peraturan ini melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik. Perusahaan asing yang ingin mengelola transaksi pembayaran dalam negeri di Indonesia juga diwajibkan untuk bermitra dengan perusahaan lokal yang sudah berlisensi dari BI untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN, sesuai dengan Peraturan BI Nomor 19/10/PADG/2017.

Kekhawatiran AS terhadap QRIS muncul karena sistem ini ditetapkan sebagai standar nasional untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia berdasarkan Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019. Dalam proses penyusunan kebijakan QRIS, AS menyoroti kurangnya konsultasi dengan para pemangku kepentingan asing, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan.