Polemik Kasus Pemanfaatan Ruang Laut Tangerang: BPK Bungkam, Kerugian Negara Dipertanyakan

Polemik Kasus Pemanfaatan Ruang Laut Tangerang: BPK Bungkam, Kerugian Negara Dipertanyakan

Kasus dugaan penguasaan ruang laut di pesisir Tangerang memicu perdebatan sengit, terutama setelah pernyataan Polri yang menyatakan tidak adanya kerugian negara. Pernyataan ini, yang disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, didasarkan pada koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, ketiadaan dokumen audit resmi dari BPK yang mendukung klaim tersebut menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung menunjukkan pandangan yang berseberangan. Mereka berpendapat bahwa penguasaan ruang laut oleh korporasi dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang berpotensi melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perbedaan interpretasi antara kedua lembaga penegak hukum ini menyoroti isu krusial: siapa yang berwenang menentukan kerugian negara, dan bagaimana publik dapat memvalidasi klaim tersebut jika BPK tetap memilih untuk tidak bersuara?

Secara konstitusional, BPK memiliki otoritas tunggal untuk menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Mandat ini tertuang dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dan diperkuat oleh UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Pasal 6 UU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa BPK berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 menegaskan bahwa penentuan kerugian negara dalam kasus korupsi harus dilakukan oleh BPK atau aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) yang berwenang.

Oleh karena itu, klaim Polri mengenai tidak adanya kerugian negara, tanpa didukung oleh hasil audit investigatif BPK, masih belum memiliki dasar hukum yang kuat. Sebaliknya, Kejaksaan Agung menunjukkan konsistensi dengan tetap mengacu pada pasal-pasal korupsi, yang membuka peluang untuk membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara yang lebih luas.

Memahami Konsep Kerugian Negara

Kerugian negara tidak terbatas pada kehilangan uang tunai atau pencurian dana negara. Kerugian juga dapat muncul dari penyalahgunaan aset negara, penguasaan ruang publik secara ilegal, atau hilangnya potensi pendapatan negara. Dalam konteks kasus ruang laut, kerugian tidak hanya dapat dinilai dari aspek administratif pertanahan, tetapi juga dari potensi kerusakan lingkungan, hilangnya hak akses publik, dan keuntungan tidak sah yang diperoleh korporasi berdasarkan legalitas dokumen yang diragukan.

Kejaksaan Agung berpendapat bahwa aspek pidana dalam kasus ini tidak hanya terkait dengan dokumen Hak Guna Bangunan (HGB), tetapi juga dengan penguasaan ruang laut tanpa mekanisme yang sah, termasuk tanpa izin pemanfaatan ruang dan tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPR) sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.

Pendekatan yang diambil oleh Kejaksaan Agung membuka peluang untuk membuktikan unsur penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara secara lebih komprehensif, sesuai dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Dalam situasi ini, BPK tidak dapat hanya menjadi institusi yang disebut-sebut tanpa memberikan klarifikasi. Jika benar telah dilakukan audit dan tidak ditemukan kerugian negara, maka hasilnya harus diumumkan secara transparan kepada publik. Sebaliknya, jika audit belum dilakukan, penyebutan nama BPK oleh Polri berpotensi menjadi upaya untuk menguatkan klaim yang belum teruji.

Audit investigatif BPK menjadi sangat penting dalam situasi ini. BPK memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan penegak hukum. Hal ini krusial untuk menjaga akuntabilitas lembaga dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, terutama karena kasus ini melibatkan ruang laut yang merupakan aset publik dan terkait dengan kepentingan ekologis serta tata kelola sumber daya nasional.

Jika penguasaan ruang laut dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, kerugiannya tidak hanya bersifat material, tetapi juga struktural, yang dapat mempengaruhi praktik tata kelola sumber daya alam di masa depan. Ketika dua lembaga penegak hukum utama di Indonesia, Polri dan Kejaksaan Agung, memiliki pandangan yang berbeda, publik membutuhkan rujukan yang objektif. Dalam hal ini, BPK adalah satu-satunya institusi yang dapat memberikan pijakan hukum berdasarkan mandat audit konstitusional.

Jika BPK tidak segera memberikan sikap resmi, ketidakpastian hukum akan terus berlanjut, bahkan berpotensi memperdalam kecurigaan akan adanya intervensi atau konflik kepentingan. Keheningan BPK bukan lagi sekadar masalah komunikasi kelembagaan, tetapi dapat diinterpretasikan sebagai ketidakhadiran negara dalam menjamin transparansi pengelolaan keuangan dan sumber daya publik.

Publik menaruh harapan besar pada BPK untuk mengambil sikap tegas dan terbuka. Dalam kasus ini, suara BPK sangat menentukan apakah negara benar-benar tidak dirugikan, atau ada kerugian yang sengaja diabaikan. Keterbukaan audit adalah bentuk akuntabilitas yang seharusnya tidak dapat ditawar. Jika BPK terus memilih untuk diam, lembaga ini berisiko kehilangan peran strategisnya sebagai penjaga keuangan negara.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebenaran tidak dapat hanya ditentukan oleh narasi institusi, tetapi harus dibuktikan oleh dokumen, audit, dan akuntabilitas. Dan semua itu, pada akhirnya, kembali kepada peran konstitusional BPK.