Eksistensi Jenang Blendung: Warisan Kuliner Magelang yang Terjaga

Di tengah hiruk pikuk Pasar Kebonpolo, Magelang, sebuah warisan kuliner masih bertahan, menawarkan cita rasa unik yang sulit ditemukan di tempat lain: jenang blendung. Jajanan tradisional ini, dengan rasa manis gurihnya yang khas, menjadi saksi bisu perjalanan panjang kulinernya, meskipun kini hanya tersisa satu penjual yang setia menjajakannya.

Asrika, seorang wanita berusia 50 tahun, adalah pewaris resep jenang blendung yang telah ia tekuni selama 11 tahun. Ia meneruskan usaha ini dari mendiang mertuanya, menjaga agar cita rasa otentik jajanan ini tidak hilang ditelan zaman. Setiap hari, Asrika dengan telaten menyiapkan jenang blendung di Pasar Kebonpolo, melayani para pelanggan yang datang dari berbagai daerah.

Rahasia kelezatan jenang blendung terletak pada kesederhanaan bahan-bahannya. Jagung tua yang dikeringkan menjadi bahan utama, direbus selama sehari penuh, kemudian dikukus hingga mencapai tekstur 'blendung' atau mengembang sempurna. Proses perebusan yang lama ini bertujuan untuk membuat jagung menjadi empuk dan mengeluarkan rasa manis alaminya. Setelah jagung mencapai tekstur yang diinginkan, ditambahkan parutan kelapa segar dan sedikit garam untuk memberikan sentuhan gurih yang khas.

Sentuhan akhir pada jenang blendung adalah penambahan jenang sumsum yang terbuat dari tepung beras. Jenang sumsum ini memberikan tekstur lembut dan rasa manis yang melengkapi rasa gurih dari jagung dan kelapa. Asrika menggunakan gula pasir sebagai pemanis jenang sumsumnya, menciptakan harmoni rasa yang pas di lidah.

Uniknya, jenang blendung tidak bisa bertahan lama jika dicampur menjadi satu. Oleh karena itu, Asrika menyiasatinya dengan menyajikan setiap komponen secara terpisah. Jagung blendung dan parutan kelapa dibungkus dalam daun pisang yang diberi sekat, sementara jenang sumsum dibungkus terpisah. Cara penyajian ini menjaga kualitas rasa dan tekstur setiap komponen, sehingga pelanggan dapat menikmati jenang blendung dalam kondisi terbaik.

Asrika bercerita bahwa selama bulan Ramadan, ia memilih untuk tidak berjualan. Namun, setelah Lebaran hari kelima, ia kembali membuka lapaknya dan disambut antusias oleh para pelanggan, termasuk para pemudik yang rindu akan cita rasa kampung halaman.

Harga jenang blendung yang dijual Asrika sangat terjangkau, mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 5.000, tergantung pada permintaan pembeli. Dalam sekali produksi, Asrika mengolah sekitar 5-7 kilogram jagung dan 2-3 kilogram tepung beras untuk membuat jenang sumsum.

Pelanggan jenang blendung Asrika datang dari berbagai kota, seperti Yogyakarta dan Semarang. Mereka adalah pelanggan setia yang telah lama menikmati jajanan ini. Salah seorang pelanggan, Maria (67), sengaja datang dari Blondo, Mertoyudan, untuk membeli 10 bungkus jenang blendung pesanan cucunya yang datang dari Kutoarjo. Maria mengatakan bahwa jenang blendung sudah sangat langka dan hanya bisa ditemukan di Pasar Kebonpolo.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Windu (31), yang datang jauh-jauh dari Yogyakarta hanya untuk mencicipi jenang blendung. Ia mengetahui tentang jajanan ini dari media sosial dan penasaran dengan rasanya. Setelah mencobanya, Windu mengakui bahwa jenang blendung memiliki rasa yang unik, perpaduan antara gurih, manis, dan asin yang membuatnya ketagihan.

Kisah jenang blendung di Pasar Kebonpolo adalah kisah tentang pelestarian warisan kuliner di tengah gempuran modernisasi. Asrika, dengan kesetiaannya menjaga resep turun temurun, telah berhasil mempertahankan eksistensi jajanan langka ini. Jenang blendung bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol dari identitas dan tradisi Magelang yang perlu dilestarikan.