Kejagung Usut Alasan Hakim Djuyamto Titipkan Tas Berisi Puluhan Ribu Dolar Singapura ke Satpam

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mendalami alasan di balik tindakan Hakim Djuyamto, dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, yang menitipkan sebuah tas kepada seorang petugas keamanan (satpam) di PN Jakarta Selatan sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Langkah ini diambil sebagai bagian dari penyelidikan yang lebih luas terkait dugaan keterlibatan Djuyamto dalam kasus suap terkait putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO). Satpam yang menerima titipan tas tersebut telah dimintai keterangan oleh pihak kejaksaan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa meskipun satpam tersebut telah diperiksa, ia mengaku tidak mengetahui motif sebenarnya di balik penitipan tas tersebut. Tas itu sendiri berisi sejumlah besar uang tunai, termasuk Rp 40.000.000 dalam pecahan Rp 100.000, Rp 8.750.000 dalam pecahan Rp 50.000, dan 39 lembar uang pecahan 1.000 dolar Singapura. Selain uang tunai, tas tersebut juga berisi dua unit telepon genggam dan sebuah cincin dengan batu permata berwarna hijau.

Satpam PN Jakarta Selatan secara sukarela menyerahkan tas tersebut kepada penyidik pada hari Rabu, 16 April 2025. Penyidik kemudian membuat berita acara penyitaan terkait penyerahan tersebut. Saat ini, fokus penyelidikan tertuju pada dua unit telepon genggam yang ditemukan di dalam tas Djuyamto. Penyidik berupaya untuk menggali informasi yang mungkin tersimpan di dalam perangkat tersebut. Informasi ini akan dianalisis dan diverifikasi untuk mencari petunjuk lebih lanjut terkait kasus yang sedang diselidiki. Namun, Harli Siregar belum dapat memastikan apakah telepon genggam tersebut mengandung bukti terkait suap atau tidak, karena proses analisis masih berlangsung.

Selain memeriksa isi tas dan telepon genggam, Kejagung juga berencana untuk memeriksa Djuyamto secara langsung. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengungkap motif yang mendorong Djuyamto untuk menitipkan tas tersebut kepada satpam. Penyidik ingin mengetahui apakah ada instruksi tertentu terkait tas tersebut, misalnya apakah tas tersebut seharusnya diserahkan kepada penyidik atau apakah ada tujuan lain yang tersembunyi.

Kasus ini bermula dari penetapan delapan tersangka oleh Kejagung dalam kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi terkait putusan lepas dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO di PN Jakarta Pusat. Kedelapan tersangka tersebut meliputi:

  • WG (Wahyu Gunawan), Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara
  • MS (Marcella Santoso), Advokat
  • AR (Ariyanto), Advokat
  • MAN (Muhammad Arif Nuryanta), Ketua PN Jakarta Selatan (saat kejadian perkara menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat)
  • DJU (Djuyamto), Ketua Majelis Hakim
  • ASB (Agam Syarif Baharuddin), Anggota Majelis Hakim
  • AM (Ali Muhtarom), Anggota Majelis Hakim
  • MSY (Muhammad Syafei), Head of Social Security Legal Wilmar Group

Direktur Penyidikan pada Jampidsus, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Djuyamto, selaku ketua majelis hakim, diduga menerima suap sebesar Rp 6 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Arif Nuryanta sendiri diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar dari Muhammad Syafei (MSY), yang merupakan bagian dari tim legal Wilmar Group, melalui perantara Wahyu Gunawan (WG). Selain Djuyamto, hakim anggota Agam Syarif Baharudin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) juga diduga menerima suap dari Arif. Ketiga hakim tersebut diduga menerima suap dengan kesadaran bahwa uang tersebut digunakan untuk mempengaruhi putusan lepas terhadap tersangka korporasi yang meliputi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.