Rizki Rahma: Srikandi Pedalangan Yogyakarta Lestarikan Wayang untuk Generasi Muda

Di tengah gempuran modernisasi, semangat Raden Ajeng Kartini untuk emansipasi terus berkobar dalam diri perempuan-perempuan Indonesia. Salah satunya adalah Rizki Rahma Nur Wahyuni, seorang dalang perempuan muda asal Bantul, Yogyakarta, yang gigih memperkenalkan seni wayang kepada generasi penerus.

Lahir dan tumbuh dalam keluarga seniman, darah seni mengalir deras dalam diri Rahma. Kakeknya adalah seorang seniman ketoprak yang disegani, sementara ayahnya merupakan dalang kondang di Yogyakarta. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan alunan gamelan dan menyaksikan pertunjukan wayang kulit ayahnya. Kecintaannya pada wayang tumbuh secara alami, membawanya pada sebuah misi mulia: melestarikan warisan budaya Jawa melalui seni pedalangan.

Ketertarikan Rahma pada dunia wayang bermula dari sebuah permintaan sederhana. Saat duduk di bangku kelas 3 SD, kakaknya yang kala itu duduk di kelas 4 meminta diajari bermain wayang untuk mengikuti lomba dalang anak se-Bantul. Dari situlah, Rahma mulai belajar mendalang sebagai hobi. Tak disangka, hobinya itu membawanya pada pengalaman berharga. Ketika ayahnya mendapat tawaran pentas, Rahma sering diajak untuk membuka pertunjukan, biasanya di acara-acara bersih desa. Ia dan kakaknya tampil dengan membawakan tarian sebagai pembuka acara.

Rahma memilih untuk mendalami wayang karena seni ini sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. Ia mengakui bahwa untuk mempelajari seni pertunjukan lain seperti ketoprak, dibutuhkan banyak personel untuk latihan. Sementara itu, dalam seni pedalangan, meskipun melibatkan pengiring musik (wiyogo) dan penyanyi (sinden), gaya Yogyakarta klasik yang dianut ayahnya memungkinkan para pengiring untuk langsung memainkan musik tanpa latihan bersama. Hal ini karena gending-gending seperti Ayak-ayak dan Campak Lasem sudah sangat familiar bagi para wiyogo.

Saat ini, Rahma lebih memfokuskan diri pada proyek-proyek pedalangan dan seringkali diminta untuk mengisi lokakarya. Ia melihat bahwa menjadi dalang perempuan justru memberikan daya tarik tersendiri, terutama bagi anak-anak. Mereka antusias melihat pertunjukan yang dibawakan oleh seorang dalang perempuan.

"Di daerah tuh antusias, apalagi anak-anak, 'Oh, ki dalange wedok lho,' (oh itu dalangnya perempuan) gitu," ujarnya.

Meski demikian, Rahma mengakui bahwa ia merasa belum bisa sebaik dalang laki-laki. Ia merasakan perbedaan stamina dan kemampuan dalam menggerakkan wayang. Ayahnya mampu mendalang selama 7 jam, dari pukul 22:00 hingga menjelang subuh. Sementara ia, baru maksimal 2 jam sudah merasa kelelahan.

Dalam mempersiapkan diri untuk pentas, Rahma tidak memiliki persiapan khusus. Ia hanya menghafal naskah, melatih gerakan wayang, dan melemaskan kaki untuk menggerakkan keprak. "Kalau sudah lama enggak dalang, terus sekalinya dalang, nge-praknya agak pegel sih. Karena kan enggak biasa, gerak. Kalau sudah sering, ya biasa," tambahnya.

Baru-baru ini, ia tampil di sebuah hotel di Yogyakarta di hadapan murid-murid SD dari Jakarta. Untuk memudahkan pemahaman anak-anak, ia membawakan pertunjukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

"Jadi konsepnya, saya ndalang berapa menit pakai bahasa Indonesia karena takutnya kalau bahasa Jawa, anak-anak juga enggak mudeng (paham)," kata Rahma.

Rahma memiliki misi mulia untuk mengenalkan budaya Jawa kepada anak-anak. Ia berharap, dengan mengenal wayang sejak dini, anak-anak akan tertarik untuk mempelajari seni ini lebih dalam. Saat ini, Rahma bekerja sebagai pegawai Pemkot. Meskipun demikian, ia belum berniat untuk menjadi dalang secara penuh. "Waktunya belum bisa fleksibel. Sejauh ini masih hobi aja sih, belum yang mau fokus untuk jadi dalang perempuan," tutupnya.

Perjuangan Rizki Rahma dalam melestarikan wayang merupakan contoh nyata bagaimana perempuan Indonesia terus berkontribusi dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya bangsa. Semangatnya yang pantang menyerah dan kecintaannya pada seni pedalangan menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk turut serta melestarikan budaya Jawa.