Era Proteksionisme: Dampak Kebijakan Tarif AS terhadap Tatanan Ekonomi Global

Pergeseran Paradigma Ekonomi Global: Kebijakan Tarif AS dan Masa Depan Neoliberalisme

Pada tanggal 2 April, sebuah kebijakan yang mengguncang pilar-pilar ekonomi global diumumkan oleh Presiden Donald Trump: penerapan tarif baru untuk barang-barang impor ke Amerika Serikat. Langkah ini, yang terdiri dari dua jenis tarif, menandai perubahan signifikan dalam strategi perdagangan AS dan memicu perdebatan tentang masa depan globalisasi.

  • Tarif Universal: sebesar 10% untuk semua negara, dijadwalkan berlaku mulai 5 April 2025.
  • Tarif Balasan: bervariasi antara 10% hingga 49% yang dikenakan pada 57 negara yang dianggap sebagai pelanggar terburuk, yang rencananya akan diimplementasikan mulai 9 April 2024.

Kebijakan yang oleh Trump disebut sebagai "Hari Pembebasan" ini, dipandang sebagai langkah proteksionis teragresif sejak tahun 1930-an. Wall Street Journal bahkan menyebutnya sebagai "perang dagang terbodoh dalam sejarah", yang berpotensi mengubah lanskap tatanan dunia yang telah mapan. Langkah ini menandai ironi sejarah yang mendalam, mengingat peran AS sebagai promotor utama perdagangan bebas selama lebih dari tujuh dekade.

Dari Promotor Perdagangan Bebas Menuju Proteksionisme

Sejak tahun 1948, melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), Amerika Serikat tampil sebagai advokat utama perdagangan bebas global. Dorongan utamanya adalah menghilangkan hambatan perdagangan, terutama tarif, untuk memfasilitasi ekspansi produk-produknya ke pasar global tanpa restriksi. Pada masa itu, AS adalah raksasa manufaktur dunia, menguasai sebagian besar output industri global.

AS juga menjadi arsitek tatanan dunia multilateral melalui lembaga-lembaga seperti Bretton Woods dan WTO, yang memastikan bahwa aturan dan prinsip kerja sama global selaras dengan kepentingan kapitalisme AS. Selanjutnya, melalui "Konsensus Washington", AS mendorong deregulasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan disiplin fiskal di seluruh dunia.

Globalisasi dan neoliberalisme menjadi terjalin erat. Penerimaan globalisasi diartikan sebagai kepatuhan terhadap resep-resep neoliberalisme, termasuk penghapusan tarif, kuota impor, Local Content Requirement, dan subsidi untuk produsen lokal, dengan janji efisiensi dan kemakmuran.

Pemenang dan Pecundang dalam Era Neoliberalisme

Namun, kenyataannya neoliberalisme menciptakan pemenang dan pecundang. Korporasi multinasional, terutama yang berbasis di AS dan Eropa, menjadi pemenang utama, mampu berproduksi dan menjual di mana saja tanpa batasan negara. Sementara itu, negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin seringkali menjadi pecundang, dengan industri dan pertanian dalam negeri hancur oleh impor murah dan sumber daya alam dieksploitasi oleh investor asing.

Di AS sendiri, terjadi peningkatan produktivitas yang signifikan sejak tahun 1970-an, namun upah riil pekerja mengalami stagnasi. Banyak perusahaan AS memilih untuk merelokasi produksi ke negara-negara dengan upah buruh rendah, menyebabkan penurunan jumlah pekerja manufaktur dan defisit perdagangan.

Contohnya, di Meksiko, jutaan petani kehilangan mata pencaharian setelah pemberlakuan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Di Asia Tenggara, pekerja terpaksa menerima kondisi kerja yang buruk. Neoliberalisme juga memicu ketimpangan ekstrem, dengan kekayaan sebagian kecil orang terkaya setara dengan kekayaan miliaran orang termiskin di dunia.

Perusahaan multinasional AS menikmati keuntungan besar dari globalisasi neoliberal, memperluas pasar mereka tanpa hambatan tarif dan menekan biaya produksi. Namun, relokasi perusahaan juga menyebabkan pengangguran dan ketergantungan pada impor di AS, yang merugikan rakyat biasa.

Kebangkitan Alternatif dan Masa Depan yang Tidak Pasti

Kritik terhadap neoliberalisme telah muncul sejak tahun 1990-an, dari berbagai gerakan sosial dan politik di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 mempercepat keruntuhan neoliberalisme dengan menyoroti kegagalan sistem ekonomi dalam menanggapi krisis. Kebijakan tarif Trump menjadi pukulan terakhir bagi globalisasi neoliberal.

Namun, China muncul sebagai "korban selamat" dari perdagangan bebas. Meskipun baru bergabung dengan WTO pada tahun 2001, China berhasil memanfaatkan perdagangan bebas untuk pertumbuhan ekonomi yang pesat dan mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan. China menjadi pusat manufaktur dunia tanpa sepenuhnya mengikuti resep-resep neoliberal.

Motivasi di balik kebijakan tarif Trump tidak hanya untuk mengurangi defisit anggaran dan menarik perusahaan AS kembali ke dalam negeri, tetapi juga untuk menegaskan kembali dominasi AS atas perekonomian global. Namun, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang bagi AS.

Dunia saat ini telah berubah menjadi multipolar, dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Kebijakan tarif Trump telah merusak aliansi global tradisional AS, dengan Kanada dan Eropa menjadi lawan dagang. Jika China, Uni Eropa, dan negara-negara Selatan bersatu untuk membangun tatanan dunia baru yang lebih adil, AS berisiko terisolasi.

Bayangan dunia tanpa dominasi AS memunculkan harapan akan dunia yang lebih damai, dengan kerja sama yang setara dan saling menghormati kedaulatan nasional.