Tarif Resiprokal AS: Beban Tersembunyi di Balik Janji Perlindungan Ekonomi

Di sebuah supermarket di Amerika Serikat, seorang ibu terdiam di depan rak susu formula impor. Harga yang melambung tinggi membuatnya ragu, namun ia tetap mengambil kaleng susu itu demi sang buah hati. Pemandangan ini adalah gambaran nyata dari dampak tarif resiprokal yang diberlakukan pemerintah AS. Seringkali dikaitkan dengan perang dagang, lalu siapa sebenarnya yang menanggung biaya dari kebijakan ini? Bukan negara mitra dagang, melainkan konsumen.

Tarif: Antara Retorika dan Dampak Nyata

Tarif, sebagai pajak impor, menjadi senjata kebijakan untuk membalas negara-negara yang dianggap tidak adil dalam perdagangan. Meski terdengar heroik dalam melindungi industri dalam negeri, kenyataannya tarif membebani pelaku usaha lokal dan konsumen. Kenaikan harga barang impor memicu efek domino. Produsen AS yang bergantung pada bahan baku impor terpaksa menaikkan harga, yang kemudian diteruskan ke distributor, pengecer, dan akhirnya, konsumen. Harga kebutuhan sehari-hari seperti gawai, obat-obatan, dan makanan kemasan melonjak.

Teori Cost Pass-Through menjelaskan bagaimana perusahaan menyesuaikan harga produk akibat perubahan biaya, termasuk tarif. Kenaikan biaya diteruskan sepanjang rantai pasokan hingga mencapai konsumen. Tarif yang awalnya bertujuan mendisiplinkan mitra dagang justru menggerogoti daya beli masyarakat AS dan memicu inflasi. Warga kelas menengah ke bawah merasakan dampaknya paling berat, dihadapkan pada pilihan sulit antara membeli barang dengan harga mahal atau beralih ke produk yang kualitasnya belum terjamin.

Dampak Balasan: Ancaman Gejolak Perdagangan Global

Situasi semakin rumit jika negara-negara mitra dagang membalas kebijakan tarif resiprokal AS. Konflik dagang global pun tak terhindarkan. Bahkan jika Indonesia memilih untuk tidak membalas, bukan berarti dampaknya tidak terasa. Jika Indonesia mengenakan tarif tambahan pada produk AS, konsumen Indonesia juga akan menanggung akibatnya. Produk pertanian AS yang diimpor akan menjadi lebih mahal, begitu pula produk lokal yang menggunakan bahan baku dari AS. Ketersediaan obat-obatan dari perusahaan farmasi AS mungkin akan terbatas karena permintaan menurun akibat kenaikan tarif, sementara produsen lokal belum tentu mampu menyediakan produk pengganti yang setara kualitasnya.

Ketidakpastian dan Efiensi Global

Dalam jangka panjang, tarif resiprokal menciptakan ketidakpastian dalam perdagangan global. Perusahaan enggan berinvestasi atau melakukan ekspansi karena takut tarif berubah sewaktu-waktu. Akibatnya, harga menjadi fluktuatif, pasokan terganggu, dan inovasi melambat.

Ironi Perlindungan

Kembali pada ibu di supermarket tadi, ia membayar lebih mahal untuk susu anaknya. Harga itu adalah konsekuensi dari kebijakan yang dibuat jauh dari sana. Ironisnya, tarif dikemas dalam narasi patriotik untuk melindungi industri nasional. Namun, ketika tarif justru menaikkan harga dan membatasi pilihan, apakah itu benar-benar perlindungan? Atau justru pengabaian terhadap kebutuhan rakyat?

Siapa sebenarnya yang membayar tarif ini? Bukan diplomat atau birokrat, melainkan ibu di lorong supermarket dan jutaan konsumen kelas menengah ke bawah yang hanya ingin memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka. Perang dagang mungkin diputuskan dari atas, tetapi dampaknya dirasakan langsung di rak-rak supermarket dan dompet rakyat biasa.