Raden Ajeng Kartini: Perjuangan Emansipasi yang Terungkap Melalui Surat-Menyurat

Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh pelopor emansipasi wanita di Indonesia, lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia adalah putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang saat itu menjabat sebagai Asisten Wedono Mayong. Tiga tahun kemudian, ayah Kartini diangkat menjadi Bupati Jepara. Ibunya, Ngasirah, adalah putri seorang kiai dari Teluk Awur, Jepara.

Sejak kecil, Kartini mendapat perhatian khusus dalam pendidikan dari ayahnya. Meskipun pada masa itu pendidikan bagi perempuan masih dianggap tabu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat berani mendobrak tradisi dengan menyekolahkan Kartini bersama teman-temannya. Di lingkungan sekolah, Kartini menunjukkan kecerdasannya dan bakatnya dalam membaca dan menulis. Ketertarikannya pada dunia literasi ini kemudian membawanya pada kegiatan surat-menyurat dengan teman-teman korespondensinya di Belanda, yang menjadi salah satu pendorong utama pemikiran-pemikiran demokratisnya.

Korespondensi Kartini dengan sahabat-sahabatnya di Belanda menjadi jendela bagi kita untuk memahami pemikiran dan perjuangannya. Di antara belasan sahabat penanya, keluarga Mr. JH Abendanon menjadi yang terdekat. Surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada keluarga Abendanon kemudian disimpan oleh cucu JH Abendanon dan dihibahkan ke perpustakaan KITLV pada tahun 1986. Peneliti FGP Jaquet kemudian membukukan surat-surat tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1987.

Sebelumnya, pada tahun 1911, JH Abendanon telah menerbitkan 105 surat Kartini dengan tujuan untuk memperkenalkan pemikirannya kepada masyarakat Belanda serta menggalang dana untuk pendirian sekolah perempuan, yang kemudian dikenal sebagai Sekolah Kartini. Surat-surat yang ditulis Kartini selama sekitar lima tahun, dari tahun 1899 hingga 1904, memberikan gambaran yang komprehensif tentang sosok Kartini. Selain itu, surat-surat tersebut juga menjadi sumber data yang berharga bagi para peneliti sejarah untuk memahami kondisi sosial pada masa itu.

Namun, perlu dicatat bahwa dari buku "Door Duisternis Tot Licht" (DDTL) yang diterbitkan oleh JH Abendanon, hanya 105 surat yang dimuat, dan itupun banyak mengalami pemotongan. Pada tahun 1987, FGP Jaquet melengkapi koleksi surat Kartini menjadi 110 surat, dan pada tahun 2024, jumlah tersebut kembali dilengkapi menjadi 179 surat. JH Abendanon tercatat memotong 57 surat atau sekitar 237 halaman, serta tidak memuat 74 surat lainnya.

Dalam surat-suratnya, Kartini dengan berani mengkritik adat istiadat yang dianggap menghambat kemajuan perempuan, seperti praktik pingitan. Ia memperjuangkan agar perempuan diberikan kebebasan untuk menuntut ilmu dan belajar. Pemikiran-pemikiran Kartini ini sejalan dengan semangat emansipasi yang berkembang pada masa itu.

Keinginan Kartini untuk memajukan pendidikan perempuan mendapat dukungan penuh dari suaminya, Raden Mas Adipati Djojodiningrat, Bupati Rembang. Keduanya menikah pada tanggal 8 November 1903. Setelah menikah, Kartini mendirikan tempat belajar di rumahnya, yang terletak di sebelah timur gapura Kabupaten Rembang. Ia tidak memungut biaya dari murid-murid yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sayangnya, Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putranya, Raden Mas Susalit, pada tanggal 17 September 1904. Meskipun hidupnya singkat, semangat dan perjuangan Kartini terus menginspirasi generasi penerus untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memajukan pendidikan di Indonesia.

Perjuangan Kartini meliputi beberapa point penting, diantaranya:

  • Emansipasi Wanita: Kartini adalah tokoh sentral dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan.
  • Kritik Adat: Melalui surat-suratnya, Kartini berani mengkritik adat istiadat yang menghambat kemajuan perempuan.
  • Pendidikan: Kartini sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan agar mereka dapat mandiri dan berdaya.
  • Dukungan Suami: Suami Kartini, Raden Mas Adipati Djojodiningrat, memberikan dukungan penuh terhadap perjuangan istrinya.
  • Tempat Belajar: Kartini mendirikan tempat belajar di rumahnya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu.