Tradisi Unik di Ponorogo: Gotong Keranda Seberangi Sungai Akibat Larangan Warga
Di sebuah desa di Ponorogo, Jawa Timur, sebuah tradisi unik sekaligus mengharukan masih terus dipraktikkan. Setiap kali ada warga yang meninggal dunia dan hendak dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Tugurejo, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo, keranda jenazah harus digotong menyeberangi sungai.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Usut punya usut, tradisi ini berawal dari larangan seorang warga bernama Sulasmi, yang tidak memperbolehkan keranda jenazah melewati jalan di samping rumahnya. Larangan ini ternyata sudah berlangsung puluhan tahun, bermula sejak ayah Sulasmi, yang dikenal dengan panggilan Mbah Oso, masih hidup.
Menurut penuturan Sekretaris Desa Wates, Misdi, larangan ini didasari oleh kepercayaan bahwa jika jenazah melintas di dekat rumah, akan membawa dampak buruk atau kesialan bagi keluarga. “Sudah puluhan tahun sejak Mbah Oso, bapaknya Sulasmi, itu sudah dilarang lewat situ. Katanya kalau jenazah lewat jalan di samping rumahnya, katanya jadi lemah sangar,” ujarnya.
Larangan tersebut tidak hanya berlaku bagi warga Desa Wates, tetapi juga bagi warga Desa Tugurejo yang hendak menuju TPU. Akibatnya, keluarga dan para pelayat terpaksa harus memikul keranda menyusuri jalan setapak yang curam, menuruni lembah, menyeberangi sungai sedalam kurang lebih 150 meter, sebelum akhirnya tiba di area pemakaman.
“Warga desa sini pun harus lewat sungai ke pemakaman meski pemakaman tersebut masuk Desa Tugurejo,” kata Syarifudin, salah satu warga Desa Tugurejo.
Upaya mediasi sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh pemerintah Desa Wates, sekitar tiga tahun lalu, ketika Sulasmi memprotes penggunaan ambulans yang melintas di dekat rumahnya untuk mengantar jenazah. Namun, mediasi tersebut tidak membuahkan hasil, Sulasmi tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Sayangnya, awak media belum berhasil mengkonfirmasi langsung kepada Sulasmi terkait alasan di balik larangan tersebut. Menurut warga sekitar, Sulasmi sedang memiliki acara keluarga, yaitu mengkhitankan anaknya.
Chandra, seorang tetangga Sulasmi, membenarkan adanya larangan tersebut, meskipun ia sendiri tidak mengetahui secara pasti alasannya. “Iya, memang Bu Sulasmi melarang jenazah lewat di jalan sini. Alasannya kita tidak tahu,” ucapnya.
Ironisnya, dampak dari larangan ini juga dirasakan oleh keluarga Mbah Oso sendiri. Ketika Mbah Oso meninggal dunia, jenazahnya tidak diperbolehkan dimakamkan di TPU Desa Tugurejo karena larangan yang pernah ia tetapkan. Akhirnya, jenazah Mbah Oso dimakamkan di Gemahharjo, Kabupaten Pacitan, yang merupakan tempat kelahirannya.
TPU Desa Tugurejo sendiri memang telah lama digunakan sebagai tempat pemakaman warga Dukuh Bungkul dan sekitarnya, karena lokasinya lebih dekat dibandingkan dengan TPU milik Desa Wates. Pemerintah Desa Tugurejo pun tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
Lokasi TPU Desa Tugurejo dipisahkan oleh sungai yang menjadi batas wilayah dengan Desa Wates. Satu-satunya akses jalan darat menuju TPU adalah jalan yang berada di samping rumah Sulasmi. Akibat larangan tersebut, warga terpaksa menyeberangi sungai untuk memakamkan jenazah.
Tradisi unik ini menjadi potret nyata bagaimana sebuah kepercayaan dan keputusan individu dapat memengaruhi kehidupan bermasyarakat, bahkan setelah orang tersebut meninggal dunia.