Pelari Indonesia Taklukkan Marathon Sahara dengan Sandal: Kisah Adaptasi dan Filosofi Natural Running

Kisah inspiratif datang dari Diego Yanuar, seorang pelari asal Indonesia yang mencuri perhatian dunia olahraga. Ia berhasil menyelesaikan salah satu tantangan lari terberat di muka bumi, Marathon des Sables, sepanjang 250 kilometer di Gurun Sahara, Maroko. Yang lebih mencengangkan, Diego menaklukkan ganasnya gurun pasir selama tujuh hari tersebut hanya dengan menggunakan sepasang sandal.

Keputusan Diego untuk berlari menggunakan sandal bukan tanpa alasan. Cedera kaki yang pernah dialaminya menjadi titik awal perjalanannya menuju natural running. Ia mulai mencari tahu teknik lari yang benar, jenis alas kaki yang sesuai, dan mendalami filosofi gerakan alami. Transformasi ini membawanya dari seorang pemain bola yang menjadikan lari sebagai latihan penunjang, menjadi seorang pelari maraton yang handal.

Sejak tahun 2015, Diego secara rutin mengikuti berbagai ajang maraton di Indonesia. Ia terus mengasah teknik, memperbaiki postur, dan meningkatkan catatan waktunya. Dedikasinya membuahkan hasil, hingga ia berhasil menuntaskan BTS100 Ultra, sebuah maraton yang menantang di kawasan Bromo Tengger Semeru. Namun, petualangannya tidak berhenti di situ. Diego kemudian memutuskan untuk beralih dari sepatu lari konvensional ke sandal.

Transisi ini membutuhkan waktu dan kesabaran. Diego membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk beradaptasi sepenuhnya. Ia menyadari bahwa berlari dengan sepatu dan sandal melibatkan mekanisme tubuh yang berbeda. Oleh karena itu, perubahan secara bertahap sangat penting untuk mencegah cedera. Diego menekankan bahwa transisi yang terburu-buru dari sepatu ke sandal dapat merusak tubuh.

  • "Jika sudah terbiasa lari 10K dengan sepatu, harus menurunkan intensitas, memahami teknik lari yang benar, dan menyesuaikan kecepatan saat menggunakan sandal. Rasanya seperti memulai lari dari awal lagi," jelas Diego.

Selama masa transisi, Diego mencoba berbagai jenis sepatu lari. Ia mulai dari sepatu konvensional hingga sepatu khusus dengan desain yang berbeda. Diego secara bertahap beralih ke sepatu zero drop and barefoot shaped shoes. Sepatu jenis ini tidak memiliki perbedaan ketinggian antara tumit dan bagian depan kaki, sehingga memberikan sensasi seperti berlari tanpa alas kaki.

Seiring waktu, Diego beralih ke model barefoot shaped shoes minimalis dengan bantalan yang lebih tipis. Hingga saat ini, ia menggunakan sandal khusus dari Pyopp Fledge. Diego mengungkapkan bahwa perawatan sandal ini sangat mudah, cukup disemprot dengan air seperti sandal biasa.

Setelah tiga tahun beradaptasi, Diego mantap menggunakan sandal, baik untuk lari sehari-hari maupun untuk mengikuti maraton. Selain karena alasan cedera, Diego juga meyakini bahwa natural running dan natural movement sejalan dengan filosofi hidupnya yang minimalis. Ia merasa lebih menyatu dengan alam dan memiliki koneksi yang lebih kuat dengan lingkungan sekitarnya.

Lebih lanjut, Diego menjelaskan bahwa penggunaan sandal memberikan kebebasan bergerak yang lebih besar pada kaki, menyerupai fleksibilitas tangan manusia. Hal ini juga mengurangi risiko blister yang sering disebabkan oleh gesekan antara kulit, kaus kaki, dan sepatu. Kisah Diego Yanuar adalah bukti bahwa dengan tekad, adaptasi, dan keyakinan pada filosofi yang dianut, batasan dapat dilampaui dan tantangan terberat sekalipun dapat ditaklukkan.