HNSI Dukung Sosialisasi VMS, Jembatani Aspirasi Nelayan dengan Pemerintah
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menyatakan kesiapannya untuk menjadi penghubung antara aspirasi para nelayan dengan pemerintah, khususnya terkait implementasi kebijakan kelautan dan perikanan. Organisasi ini juga siap berkolaborasi dengan pemerintah dalam menyosialisasikan berbagai regulasi, termasuk yang berkaitan dengan Vessel Monitoring System (VMS).
Agus Suherman, Wakil Ketua DPP HNSI, menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya ikan yang serius dan komprehensif. Menurutnya, sektor perikanan tangkap di Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri, mulai dari keberagaman sumber daya, metode penangkapan, hingga dinamika lingkungan dan berbagai kepentingan pemangku kebijakan. HNSI berperan sebagai wadah untuk menjembatani perbedaan aspirasi tersebut.
"Kami harus sabar, banyak berdialog dan berdiskusi. Oleh karena itu, HNSI hadir sebagai jembatan, agar aspirasi itu bisa diartikulasikan dengan baik dan disampaikan kepada pemerintah," ujar Agus.
Penegasan ini disampaikan menyusul aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh sejumlah nelayan di berbagai daerah terkait penolakan terhadap aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mewajibkan penggunaan VMS. Para nelayan umumnya merasa keberatan dengan biaya pemasangan dan operasional VMS.
Meski demikian, HNSI memahami pentingnya VMS sebagai alat pemantauan posisi kapal yang krusial dalam upaya pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan. VMS memungkinkan pelacakan kapal, yang berguna untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi penangkapan ikan dan mencegah aktivitas ilegal.
Agus menjelaskan bahwa kewajiban pemasangan VMS diatur dalam berbagai peraturan pemerintah, termasuk PP Nomor 5/2021, PP 27/2021, dan PP 11/2023. Pemerintah, merespon masukan dari berbagai pihak, memberikan masa transisi melalui Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan, terutama bagi kapal ikan yang izinnya berasal dari daerah dan beroperasi di atas 12 mil laut, serta kapal ikan yang izinnya menjadi kewenangan gubernur.
Langkah ini dianggap positif karena menunjukkan respons pemerintah terhadap dinamika dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Salah satu tantangan utama adalah harga VMS yang dianggap masih mahal, terutama bagi kapal berukuran 5-30 GT. Meskipun harga VMS telah menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, HNSI menilai masih perlu ada solusi agar lebih terjangkau bagi nelayan kecil.
HNSI mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan penggunaan teknologi VMS yang lebih ekonomis, terutama untuk kapal-kapal kecil. Agus mengusulkan penggunaan teknologi alternatif yang tetap berfungsi untuk memantau pergerakan kapal. Manfaat pemantauan ini sangat penting, baik bagi nelayan, pemilik kapal, maupun pemerintah.
"Bayangkan tanpa VMS, apabila di laut yang luas sana terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, maka tentu akan susah dicarikan posisinya sehingga upaya pertolongan tidak bisa segera," kata Agus.
HNSI berharap jika harga VMS dapat ditekan hingga kisaran Rp 1-2 juta tanpa biaya air time, maka akan semakin mempermudah pemilik kapal ukuran 5-30 GT untuk segera memasang VMS. Hal ini akan mendukung upaya pengelolaan perikanan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Beberapa poin penting yang disoroti HNSI:
- Kolaborasi: Siap bekerjasama dengan pemerintah dalam sosialisasi kebijakan.
- Aspirasi Nelayan: Menampung dan menyalurkan aspirasi nelayan terkait VMS.
- Harga VMS: Mendorong penggunaan teknologi VMS yang lebih terjangkau.
- Teknologi Alternatif: Mengusulkan penggunaan teknologi alternatif untuk kapal kecil.
- Manfaat VMS: Menekankan pentingnya VMS untuk keselamatan dan pengelolaan perikanan.