Bank Indonesia Tanggapi Keluhan AS Terkait QRIS dan GPN: Terbuka untuk Kolaborasi
Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan negara manapun, termasuk Amerika Serikat (AS), terkait implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), asalkan kedua belah pihak sepakat dan siap bekerja sama. Pernyataan ini disampaikan oleh Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, sebagai respons terhadap kekhawatiran yang diajukan oleh pemerintah AS mengenai QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Keluhan AS, yang tercantum dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, menyoroti potensi hambatan perdagangan yang mungkin timbul akibat implementasi QRIS dan GPN. Laporan tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan ini dapat memaksa penggunaan sistem pembayaran domestik dan mengecualikan opsi lintas batas, yang pada gilirannya dapat menghambat akses pasar bagi perusahaan AS.
Destry Damayanti menegaskan bahwa Indonesia selalu terbuka untuk menjajaki kerja sama dengan negara lain tanpa diskriminasi. Ia menyoroti fakta bahwa alat pembayaran non-tunai seperti kartu kredit yang diterbitkan oleh perusahaan jasa keuangan AS, seperti Visa dan Mastercard, masih mendominasi pasar pembayaran di Indonesia. Hal ini, menurutnya, membuktikan bahwa tidak ada hambatan yang signifikan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di Indonesia.
"Jadi, kita tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak," ujarnya di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Lebih lanjut, Destry menjelaskan bahwa kekhawatiran yang diutarakan AS berpusat pada kewajiban BI yang mengharuskan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan berlisensi oleh BI. Aturan ini, yang sesuai dengan Peraturan BI Nomor 19/08/2017, dipandang oleh beberapa pihak sebagai pembatasan terhadap opsi pembayaran lintas batas dan potensi hambatan bagi perusahaan asing.
Dalam laporan NTE, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) merinci berbagai hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Laporan tersebut menyoroti kebijakan Indonesia yang dianggap dapat menghambat perdagangan digital dan elektronik, yang berpotensi berdampak negatif pada perusahaan-perusahaan AS.
Destry Damayanti menekankan bahwa BI akan terus memantau perkembangan dan terbuka untuk berdialog dengan semua pihak terkait untuk memastikan bahwa implementasi QRIS dan GPN tidak menghambat perdagangan dan investasi asing di Indonesia. BI berkomitmen untuk menciptakan lingkungan bisnis yang adil dan transparan bagi semua pelaku pasar, baik domestik maupun internasional.
Berikut poin-poin yang menjadi sorotan dalam laporan tersebut:
- QRIS dan GPN: Implementasi sistem pembayaran ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan perusahaan penyedia jasa pembayaran dan bank asal AS.
- Kewajiban Penggunaan Sistem Domestik: Perusahaan-perusahaan AS khawatir karena adanya kewajiban untuk menggunakan sistem dalam negeri dan pengecualian opsi lintas batas.
- Regulasi BI: Peraturan BI Nomor 19/08/2017 tentang GPN mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan berlisensi oleh BI.
- Dominasi Kartu Kredit AS: Meskipun ada kekhawatiran tentang QRIS dan GPN, kartu kredit yang diterbitkan oleh perusahaan AS seperti Visa dan Mastercard masih mendominasi pasar pembayaran di Indonesia.
BI menegaskan komitmennya untuk terus berdialog dengan semua pihak terkait untuk memastikan bahwa implementasi QRIS dan GPN tidak menghambat perdagangan dan investasi asing di Indonesia.