Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, Didakwa Korupsi Dana Insentif ASN Hingga Gratifikasi Proyek
Sidang perdana kasus dugaan korupsi yang menyeret mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, atau yang akrab disapa Mbak Ita, beserta suaminya, Alwin Basri, telah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang pada Senin, 21 April 2025.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa pasangan suami istri tersebut dengan tiga dakwaan terkait tindak pidana korupsi yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 9 miliar. Rangkuman jalannya persidangan mengungkap beberapa poin penting:
-
Pemotongan Insentif Pegawai Bapenda: Jaksa Rio Vernika Putra mengungkapkan bahwa Mbak Ita diduga melakukan pemotongan insentif pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang sejak tahun 2022 hingga 2024. Dana yang dikumpulkan melalui mekanisme yang disebut sebagai "iuran kebersamaan" mencapai angka Rp 3,8 miliar.
Dana tersebut, menurut jaksa, digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk kegiatan Dharma Wanita, rekreasi ke Bali, pembelian batik, penyelenggaraan lomba nasi goreng, dan bahkan kegiatan yang bersifat politis. Sebagian dana juga diduga dialokasikan untuk mendukung kepentingan politik Mbak Ita menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
-
Suap dan Gratifikasi Proyek Pengadaan: Dakwaan kedua menyoroti dugaan permintaan fee komitmen sebesar Rp 1 miliar oleh Alwin Basri dari Direktur PT Chimader 777, Martono, terkait dengan proyek pengadaan barang dan jasa pada tahun 2023. Selain itu, Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar, juga diduga memberikan fee komitmen sebesar Rp 1,7 miliar setelah perusahaannya mendapatkan proyek pengadaan meja dan kursi senilai Rp 20 miliar.
Mbak Ita dan Alwin juga diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 2 miliar dari proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan di Kota Semarang. Gratifikasi ini tidak dilaporkan kepada KPK, melanggar ketentuan yang berlaku.
-
Permintaan Setoran Dana Iuran: Jaksa juga mengungkapkan adanya permintaan jatah sebesar Rp 300 juta dari dana iuran kebersamaan ASN oleh Mbak Ita. Permintaan ini diduga terjadi ketika Kepala Bapenda, Indriyasari, melaporkan bahwa dana iuran telah mencapai Rp 900 juta. Mbak Ita disebut menulis angka "300" di atas kertas sambil memberikan isyarat persetujuan untuk mengambil bagian tersebut.
-
Penolakan Tanda Tangan SK Insentif: Mbak Ita juga sempat menolak menandatangani draft Surat Keputusan (SK) terkait insentif tambahan ASN karena merasa bagian yang diterimanya lebih kecil dibandingkan dengan Sekretaris Daerah Kota Semarang. Namun, setelah adanya kesepakatan terkait iuran kebersamaan, SK tersebut akhirnya disetujui dan ditandatangani.
-
Penundaan Penyerahan Dana: Menjelang awal tahun 2024, Mbak Ita meminta penundaan penyerahan dana iuran karena mendapatkan informasi mengenai adanya penyelidikan dari KPK. Padahal, dana sebesar Rp 300 juta sudah siap diserahkan kepada dirinya dan Alwin Basri. Jaksa Rio mengutip pernyataan terdakwa yang meminta agar penyerahan dana ditunda.
Menanggapi dakwaan tersebut, kuasa hukum Mbak Ita, Erna Ratnaningsih, membantah bahwa kliennya menciptakan kebijakan iuran kebersamaan. Menurutnya, praktik tersebut sudah ada sejak masa jabatan wali kota sebelumnya, dan Mbak Ita hanya meneruskannya.
Mbak Ita dan Alwin didakwa melanggar Pasal 12 huruf a, Pasal 11, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam persidangan tersebut, kedua terdakwa tidak mengajukan eksepsi. Sidang selanjutnya akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.