KPK Intensifkan Penyelidikan Kasus Korupsi Bank BJB, Ridwan Kamil Akan Diperiksa

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi dalam pengadaan iklan di Bank BJB yang menyeret nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Lembaga antirasuah ini berjanji akan segera memeriksa politikus dari Partai Golkar tersebut.

"Ya nanti tergantung penyidik lah itu, secepatnya," ujar Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025). Fitroh menegaskan bahwa penyidikan kasus ini masih berjalan dan akan ditangani secara profesional. "Semua perkara kan jadi atensi tidak ada kemudian satu dan kemudian yang lain tidak," imbuhnya.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka, yaitu:

  • Mantan Dirut BJB, Yuddy Renaldi (YR)
  • Pimpinan Divisi Corporate Secretary BJB, Widi Hartoto (WH)
  • Pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri, Ikin Asikin Dulmanan (ID)
  • Pengendali PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE) dan PT BSC Advertising, Suhendrik (S)
  • Pengendali Agensi Cipta Karya, Sophan Jaya Kusuma (SJK).

Selain menetapkan tersangka, KPK juga telah menyita sejumlah aset terkait kasus ini. Salah satunya adalah sebuah motor Royal Enfield yang saat ini masih berada di wilayah Jawa Barat. "Satu unit motor Royal Enfield," kata Tessa Mahardhika kepada wartawan, Senin (14/4).

KPK juga menyita sejumlah barang bukti dan dokumen dari kediaman Ridwan Kamil. Nilai kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 222 miliar. Kasus ini bermula pada periode 2021-2023, ketika Bank BJB mengalokasikan anggaran sebesar Rp 409 miliar untuk belanja iklan melalui Divisi Corporate Secretary (Corsec) yang melibatkan enam agensi.

Namun, dalam prosesnya, terjadi sejumlah penyimpangan. Mantan Dirut BJB, Yuddy Renaldi, bersama dengan Pimpinan Divisi Corsec BJB, Widi Hartoto, diduga bersekongkol untuk mengatur pengadaan agensi dengan tujuan mendapatkan kickback. Widi Hartoto kemudian menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak sesuai dengan nilai pekerjaan yang sebenarnya, melainkan berupa fee agensi, untuk menghindari proses lelang yang seharusnya. Selain itu, panitia pengadaan juga diinstruksikan untuk tidak melakukan verifikasi dokumen penyedia sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Tidak hanya itu, terjadi pula penambahan penilaian setelah pemasukan penawaran (post bidding), yang melanggar aturan pengadaan. Atas perbuatan tersebut, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.