Perjuangan Turisem: Dari Gerobak Nasi Uduk Hingga Antarkan Anak Raih Sarjana

Di sudut Taman Mangu Indah, Jurang Mangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan, setiap subuh sebelum fajar menyingsing, sosok Turisem telah bergelut dengan aroma rempah dan nasi. Rutinitasnya dimulai sejak pukul 03.00 WIB, menyiapkan hidangan nasi uduk, ketupat sayur, dan ketoprak yang menjadi andalannya.

Dengan usia yang telah mencapai 52 tahun, lebih dari separuh hidupnya, sekitar 25 tahun, diabdikan untuk berjualan di lokasi yang sama. Gerobak sederhananya menjadi saksi bisu perubahan zaman dan perjuangan seorang ibu.

"Dulu, sebelum ada ojek online, 15 liter beras bisa habis sehari. Sekarang, lima liter saja kadang tidak habis," ungkap Turisem, menggambarkan perubahan drastis dalam dunia kuliner dan persaingan usaha.

Turisem, seorang perantau asal Cilacap, Jawa Tengah, lebih dikenal dengan sapaan Mama Amel, diambil dari nama putri tercintanya. Pada tahun 1993, ia sempat merantau ke Malaysia selama enam tahun, bekerja serabutan tanpa melalui jalur formal.

"Dulu, paspor saya itu paspor melancong," kenangnya, menggambarkan betapa informalnya proses keberangkatannya saat itu. Sekembalinya dari negeri jiran, Turisem membangun keluarga dan memulai usaha kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Perjalanan usahanya dimulai dengan berjualan sayur, kemudian berkembang menjadi nasi uduk, dan kini merambah ke ketoprak, resep warisan dari sang suami yang turut membantu berjualan. Meskipun hasil berjualan tidak selalu memuaskan, Turisem tetap bersyukur dan menjalaninya dengan ikhlas.

"Namanya juga jualan, kadang untung, kadang buntung. Tapi ya sudah, dijalanin aja. Bukan pilihan, tapi keharusan," ujarnya sembari tersenyum.

Di tengah himpitan ekonomi, Turisem tetap teguh pada prinsipnya. Ia tidak pernah terpikir untuk berhenti berjualan, meskipun harga bahan pokok terus melambung tinggi.

"Cabai sekarang Rp 100.000, bawang merah pernah sampai Rp 150.000 per kilo. Tapi saya enggak naikin harga, karena pelanggan juga kasihan," tuturnya.

Keuntungan yang didapat memang tidak sebesar dulu, namun dari hasil berjualan nasi uduk itulah, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan, salah satu putrinya berhasil meraih gelar sarjana akuntansi dengan predikat cum laude dari Universitas Al-Azhar Indonesia.

Kini, putrinya yang berusia 24 tahun telah bekerja sebagai asisten manajer di sebuah perusahaan di kawasan BSD, Tangerang Selatan. Sementara putra bungsunya yang berusia 18 tahun, baru lulus dari pesantren dan mulai bekerja di sebuah pabrik di daerah yang sama dengan sang kakak.

"Alhamdulillah. Dari nasi uduk bisa nyekolahin anak sampai sarjana. Sekarang gantian saya kadang minjem modal ke anak kalau dagangan lagi seret," ungkapnya dengan nada bangga.

Turisem menyadari bahwa hidup semakin keras. Ia berpendapat, untuk bertahan hidup, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami. Oleh karena itu, ia ikut mencari nafkah tanpa banyak mengeluh.

"Kalau cuma mengandalkan suami, ya enggak cukup. Saya bantu semampunya, yang penting keluarga jalan," katanya.

Saat ditanya mengenai Hari Kartini, Turisem terdiam sejenak, lalu menjawab dengan sederhana, "Kalau dulu Kartini berjuang lewat pena, sekarang ibu-ibu kayak saya berjuang lewat jualan. Beda bentuknya, tapi tujuannya sama, demi anak-anak bisa hidup lebih baik."

Kini, di usia senjanya, Turisem tidak memiliki ambisi besar. Ia hanya ingin terus berjualan, menyambung hidup, dan melihat anak-anaknya terus melangkah maju. Di tengah gempuran ekonomi dan era digital, ia tetap setia pada gerobaknya, pada aroma nasi uduk yang menguar setiap pagi. Di sanalah, perjuangannya berawal dan berlanjut, sebagai Kartini jalanan yang tak gentar menghadapi zaman.