Polemik Barang Tiruan di Mangga Dua: Kemenperin Soroti Inkonsistensi Regulasi Impor

Kemenperin Tanggapi Sorotan AS Terkait Produk Bajakan di Mangga Dua

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) angkat bicara terkait laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Laporan tersebut menyoroti maraknya pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI) dan peredaran barang bajakan di Indonesia, khususnya di kawasan Mangga Dua, Jakarta, sebagai penghambat akses pasar bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menjelaskan bahwa sebagian besar barang bajakan yang beredar di pasar domestik berasal dari impor, baik melalui mekanisme impor reguler maupun melalui platform e-commerce dengan memanfaatkan fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB). Untuk mengatasi masalah ini, Kemenperin mengusulkan penerapan regulasi yang mewajibkan importir dan penjual online untuk memiliki sertifikat merek yang sah.

Upaya Kemenperin Terganjal Perubahan Regulasi

Kemenperin sebenarnya telah berupaya menerapkan persyaratan kepemilikan sertifikat merek bagi importir melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 5 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Tekstil, Produk Tekstil, Tas, dan Alas Kaki. Regulasi ini bertujuan untuk mencegah masuknya barang bajakan dengan mewajibkan importir memiliki sertifikat merek dari prinsipal sebelum mendapatkan rekomendasi impor.

"Kemenperin telah menerbitkan Permenperin No. 5 Tahun 2024 yang mensyaratkan importir harus memegang sertifikat merek dari pemegang merek ketika mereka meminta Pertek (Pertimbangan Teknis) sebagai bagian pemenuhan syarat PI (Permohonan Impor) Kemendag. Tujuannya, adalah menyaring dan mencegah agar barang bajakan tidak diimpor masuk ke pasar domestik Indonesia," ujar Febri.

Namun, upaya ini terbentur perubahan regulasi di tingkat Kementerian Perdagangan (Kemendag). Permenperin No. 5 Tahun 2024, yang seharusnya menjadi landasan hukum, tidak dapat berlaku lama karena Permendag No. 36 Tahun 2024 sebagai dasar terbitnya regulasi tersebut diubah menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024. Akibatnya, kewajiban importir untuk melampirkan sertifikat merek saat mengajukan permohonan impor dihapuskan. Febri menyayangkan perubahan ini, karena sertifikat merek dianggap sebagai filter utama untuk mencegah masuknya barang bajakan.

Tantangan Pengawasan dan Penindakan

Kemenperin menilai bahwa pengawasan dan penindakan peredaran barang bajakan di pasar domestik sangat sulit dilakukan mengingat volume impor yang besar dan luasnya wilayah Indonesia. Selain itu, mekanisme delik aduan yang menjadi dasar penindakan juga menyulitkan, karena sebagian besar pemegang merek berada di luar negeri.

"Bagaimana mungkin menindak barang bajakan yang sudah beredar dalam volume besar di pasar domestik yang besar ini? Apalagi kalau hal tersebut harus dengan delik aduan? Bukankah lebih baik mencegah barang bajakan masuk lewat regulasi impor atau kebijakan non tariff barrier/non tariff measure daripada mengawasinya di pasar domestik?" tanya Febri.

Febri mencontohkan keberhasilan penertiban handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT) ilegal melalui kebijakan pendaftaran IMEI. Dengan mewajibkan produsen, importir, dan distributor untuk menunjukkan sertifikat merek saat mengajukan permohonan IMEI, peredaran smartphone ilegal berhasil ditekan secara signifikan.

Urgensi Pembenahan Regulasi Impor

Kemenperin menekankan pentingnya pembenahan regulasi impor sebagai langkah preventif untuk mencegah masuknya barang bajakan ke Indonesia. Pengawasan yang ketat di pintu masuk negara dinilai lebih efektif daripada upaya penindakan setelah barang bajakan beredar luas di pasar domestik. Kasus Mangga Dua menjadi bukti nyata bahwa inkonsistensi regulasi dan lemahnya pengawasan dapat memicu peredaran barang tiruan yang merugikan pemilik merek dan perekonomian negara.