Perebutan Takhta Suci: Kandidat Potensial Pengganti Paus Fransiskus

Spekulasi mengenai suksesi kepausan di Vatikan semakin intensif seiring bertambahnya usia dan kondisi kesehatan Paus Fransiskus. Sejumlah nama dari berbagai penjuru dunia muncul sebagai kandidat potensial untuk menggantikan pemimpin tertinggi umat Katolik tersebut.

Proses pemilihan paus, yang dikenal sebagai konklaf, merupakan ritual sakral dan tertutup yang diadakan di Kapel Sistina. Hanya para kardinal di bawah usia 80 tahun yang berhak memberikan suara, dengan jumlah pemilih biasanya mencapai sekitar 120 orang. Konklaf dikenal dengan kerahasiaannya yang ketat dan tradisi yang kaya, yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Berikut adalah beberapa tokoh yang disebut-sebut berpotensi menduduki takhta Santo Petrus:

  • Kardinal Luis Antonio Tagle: Kardinal asal Filipina ini menjabat sebagai Kepala Evangelisasi Vatikan. Dikenal karena perhatiannya terhadap isu keadilan sosial, Tagle sering disebut sebagai "Fransiskus dari Asia". Namun, namanya sempat tercoreng akibat tuduhan perundungan di Caritas Internationalis, organisasi amal Katolik yang pernah dipimpinnya.
  • Kardinal Pietro Parolin: Sebagai Sekretaris Negara Vatikan, Parolin menduduki posisi kunci dalam hierarki Gereja Katolik. Pengalamannya sebagai diplomat membuatnya berpotensi menjadi jembatan antar-faksi di dalam Gereja. Namun, perannya dalam perjanjian Vatikan dengan Tiongkok terkait penunjukan uskup menuai kritik dari kalangan konservatif.
  • Kardinal Peter Turkson: Kardinal asal Ghana ini memiliki pengalaman pastoral dan diplomatik yang luas. Ia pernah menjadi utusan khusus Paus Fransiskus dalam misi perdamaian di Sudan Selatan. Turkson dipandang sebagai sosok yang mampu mengkomunikasikan pesan Gereja secara efektif, terutama di tengah tantangan sekularisme di Eropa.
  • Kardinal Marc Ouellet: Kardinal asal Kanada ini merupakan tokoh veteran di Vatikan dan memiliki pengalaman global. Secara teologis, Ouellet dikenal sebagai seorang konservatif. Meski sempat menghadapi tuduhan pelanggaran, ia membantah tuduhan tersebut.
  • Kardinal Fridolin Ambongo Besungu: Uskup Agung Kinshasa ini dipandang sebagai bintang yang sedang bersinar dari Afrika. Ia menggabungkan pandangan tradisional dengan advokasi keadilan sosial. Ambongo dikenal karena penolakannya terhadap pemberkatan pasangan sesama jenis, yang meningkatkan profilnya di kalangan konservatif.
  • Kardinal Matteo Zuppi: Uskup Agung Bologna ini sering dijuluki "Bergoglio dari Italia" karena kesamaan pandangannya dengan Paus Fransiskus. Zuppi dikenal karena fokusnya pada kaum miskin dan migran.
  • Kardinal Jean-Marc Aveline: Uskup Agung Marseille ini dikenal karena selera humornya dan hubungannya yang baik dengan Paus Fransiskus, terutama dalam isu imigrasi dan hubungan dengan umat Muslim. Jika terpilih, Aveline akan menjadi paus pertama asal Prancis sejak abad ke-14.
  • Kardinal Peter Erdo: Uskup Agung Esztergom-Budapest ini dikenal sebagai pembela ajaran Katolik tradisional, namun tetap mampu membangun hubungan dengan kalangan progresif. Ia pernah menjadi kandidat paus pada tahun 2013.
  • Kardinal Mario Grech: Sekretaris Jenderal Sinode Uskup ini awalnya dianggap konservatif, namun kini menjadi pendukung reformasi yang diinisiasi Paus Fransiskus. Ia menyerukan sikap yang lebih terbuka terhadap umat Katolik LGBTQ+.
  • Kardinal Juan Jose Omella: Uskup Agung Barcelona ini dikenal dekat dengan Paus Fransiskus dan menjalani hidup sederhana. Kedekatannya dengan Fransiskus bisa menjadi kelemahan jika konklaf menginginkan perubahan arah kepemimpinan.
  • Kardinal Joseph Tobin: Uskup Agung Newark ini merupakan kandidat potensial dari Amerika Serikat. Ia dipuji karena berhasil mengelola skandal pelecehan seksual di keuskupannya dan dikenal karena keterbukaannya terhadap komunitas LGBTQ+.
  • Kardinal Angelo Scola: Mantan Uskup Agung Milan ini pernah menjadi kandidat kuat pada tahun 2013. Namun, ia telah melewati batas usia 80 tahun untuk memberikan suara dalam konklaf.

Proses konklaf dikenal dengan dinamikanya yang sulit diprediksi. Faktor-faktor seperti usia, pengalaman, pandangan teologis, dan jaringan relasi dapat memengaruhi pilihan para kardinal. Pepatah lama mengatakan, "Kardinal muda memilih paus tua," yang mencerminkan kecenderungan untuk memilih pemimpin yang lebih berpengalaman atau yang tidak akan menjabat terlalu lama.