Jembatan Penanding: Penantian Panjang dan Air Mata di Tengah Arus Sungai Bengkulu Tengah
Nestapa Warga Penanding: Jembatan Ambruk, Maut Mengintai, Harapan Tergantung
Sejak tahun 2022, warga Desa Penanding, Kecamatan Karang Tinggi, Kabupaten Bengkulu Tengah hidup dalam bayang-bayang tragedi. Jembatan yang menjadi urat nadi penghubung antara Kecamatan Karang Tinggi dan Semidang Lagan, ambruk diterjang banjir bandang. Lebih dari sekadar infrastruktur yang hancur, jembatan ini telah merenggut nyawa dan melumpuhkan perekonomian masyarakat.
Dua tahun berlalu, jembatan sepanjang 60 meter itu masih menjadi puing-puing yang menghantui. Kepala Desa Penanding, Tusim, dengan nada pilu menceritakan bagaimana dua ibu dari desa Penanding dan desa tetangga meregang nyawa saat berusaha menyeberangkan hasil panen sawit. Mereka menjadi korban keganasan sungai yang meluap, tragedi yang seharusnya bisa dihindari jika jembatan segera diperbaiki. Insiden ini menjadi simbol betapa mahalnya harga yang harus dibayar akibat infrastruktur yang terbengkalai.
Ambruknya jembatan ini bukan hanya soal hilangnya nyawa. Lebih dari 800 petani sawit dan kopi merasakan dampaknya secara langsung. Mereka terpaksa menyewa rakit untuk mengangkut hasil bumi, dengan biaya mencapai Rp 400 sekali penyeberangan. Biaya tambahan ini memotong keuntungan mereka, menghambat pertumbuhan ekonomi desa, dan menambah beban hidup yang sudah berat.
Namun, yang paling memilukan adalah nasib para siswa sekolah. Setiap hari, mereka harus mempertaruhkan nyawa menyeberangi sungai dengan rakit. Ancaman banjir bandang dan arus deras selalu mengintai. Mereka adalah generasi penerus bangsa, yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak dan aman, bukan mempertaruhkan keselamatan di tengah derasnya arus sungai. Kisah mereka adalah potret buram ketidakadilan, di mana anak-anak kecil harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan hak dasar mereka.
Harapan yang Tertunda dan Janji yang Belum Terpenuhi
Warga Penanding berharap pemerintah segera turun tangan dan memprioritaskan perbaikan jembatan. Mereka tidak ingin lagi ada korban jiwa. Mereka ingin anak-anak mereka bisa bersekolah dengan aman, petani bisa menjual hasil bumi dengan mudah, dan ekonomi desa bisa kembali bangkit.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bengkulu Tengah, Febrian Fatahillah, menjelaskan bahwa perbaikan jembatan Penanding membutuhkan anggaran sebesar Rp 16,7 miliar. Usulan ini sempat disetujui oleh pemerintah pusat, namun kemudian tertunda karena efisiensi anggaran. Febrian menyatakan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dan Balai Pelaksana Balai Jalan (BPJN) untuk mencari solusi.
Bupati Bengkulu Tengah, Rachmat Riyanto, membenarkan adanya penundaan perbaikan jembatan. Ia menjelaskan bahwa Pemda Bengkulu Tengah telah mengusulkan perbaikan empat jembatan melalui program Inpres, termasuk Jembatan Penanding. Namun, usulan tersebut tertunda karena efisiensi anggaran pemerintah pusat. Bupati Rachmat Riyanto memastikan bahwa Kepala Dinas PUPR terus berupaya untuk merealisasikan perbaikan jembatan tersebut.
Penantian panjang warga Penanding terus berlanjut. Di tengah derasnya arus sungai dan kerasnya kehidupan, mereka terus berharap agar jembatan impian segera terwujud. Mereka berharap agar tragedi yang menimpa dua ibu tidak terulang lagi. Mereka berharap agar anak-anak mereka bisa bersekolah dengan tenang. Mereka berharap agar desa mereka bisa kembali bangkit dan sejahtera.