Pakar Hukum: Penerapan Pasal Obstruction of Justice pada Kasus Direktur JAK TV Beralasan Kuat

Seorang ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menyatakan bahwa penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, memiliki dasar yang kuat. Tian Bahtiar ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana yang bertujuan menghalangi proses hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kasus ini bermula dari dugaan bahwa Tian Bahtiar secara sengaja membuat narasi dan konten negatif yang bertujuan untuk merusak citra Kejaksaan Agung. Konten tersebut diduga terkait dengan kasus-kasus besar yang sedang ditangani oleh Kejagung, seperti kasus korupsi PT Timah, impor gula, dan ekspor crude palm oil (CPO). Lebih lanjut, Tian diduga menerima sejumlah uang dengan total Rp 478.500.000 sebagai imbalan atas pembuatan konten-konten negatif tersebut.

Menurut Azmi Syahputra, penerapan Pasal 21 UU Tipikor dalam kasus ini dapat dibenarkan karena adanya hubungan kausalitas antara tindakan yang dilakukan oleh Tian Bahtiar dan dampak yang ditimbulkan, yaitu terganggunya proses hukum yang sedang berjalan di Kejagung. Azmi menekankan bahwa pasal ini dapat diterapkan apabila terdapat kepentingan bersama antara pelaku dan pihak-pihak lain untuk saling melindungi dan menyerang balik Kejagung. Ia juga menambahkan bahwa keberadaan upaya nyata dalam produksi berita yang bertujuan menghambat, menghalangi, mengganggu, atau mempersulit jalannya proses hukum menjadi faktor penting dalam penentuan penerapan pasal ini.

"Dalam kasus ini, jika para penyidik menemukan bahwa perbuatan pelaku yang fokus bertujuan dari adanya pemesanan kegiatan-kegiatan produksi pemberitaan tersebut berhubungan guna menggangu proses hukum agar tidak berhasil sesuai tujuan penyidikan," ujar Azmi.

Azmi juga menyoroti temuan aliran dana yang mengindikasikan adanya permufakatan jahat untuk mengganggu proses hukum Kejagung melalui pemberitaan yang dihasilkan. Ia menekankan pentingnya meneliti apakah ada tindakan yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh para pelaku untuk menghambat proses hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kendati demikian, Azmi tetap mengingatkan pentingnya menghormati kebebasan pers. Namun, dalam kasus ini, ia berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tian Bahtiar telah melampaui batas-batas kebebasan pers dan masuk ke ranah tindak pidana.

Pasal 21 UU Tipikor sendiri mengatur tentang sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. Pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, serta denda paling sedikit Rp 150.000.000 dan paling banyak Rp 600.000.000.

Sebelumnya, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Tian Bahtiar diduga membuat berita-berita berdasarkan pesanan dari Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, yang merupakan advokat para tersangka maupun terdakwa kasus-kasus yang diusut oleh Kejagung. Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 atas perbuatannya tersebut, yang dilakukan tanpa sepengetahuan jajaran JAK TV. Atas perbuatannya, Tian disangkakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah undang-undang nomor 21 tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa perbuatan pidana yang disangkakan kepada Tian Bahtiar merupakan tindakan pribadi yang tidak berkaitan dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja. Ia juga menekankan bahwa yang menjadi perhatian Kejagung bukan soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan. Harli memastikan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik.

Berikut bunyi dari Pasal 21 UU Tipikor:

"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".