Harga Ayam Anjlok Pasca Lebaran, Peternak Ayam di Jawa Barat Merugi Puluhan Miliar Rupiah Per Minggu

Peternak Ayam di Jawa Barat Menjerit Akibat Harga Anjlok

Kondisi memprihatinkan tengah dialami oleh para peternak ayam di Jawa Barat pasca-Lebaran. Harga jual ayam hidup (livebird) yang merosot tajam menyebabkan kerugian yang mencapai puluhan miliar rupiah setiap minggunya. Data dari Ombudsman Republik Indonesia (RI) menunjukkan bahwa kerugian peternak bisa mencapai Rp 86,4 miliar per minggu.

Keluhan dari peternak di Jawa Barat mengungkapkan bahwa harga ayam hidup berkisar antara Rp 11.000 hingga Rp 12.000 per kilogram pada periode 7-11 April 2025. Meskipun sempat naik menjadi Rp 13.000 hingga Rp 14.000 per kilogram pada 14-16 April 2025, harga tersebut masih jauh di bawah harga acuan yang ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas).

Peraturan Bapanas Nomor 6 Tahun 2024 menetapkan harga acuan ayam hidup sebesar Rp 23.000 hingga Rp 25.000 per kilogram. Selisih harga yang signifikan ini menyebabkan kerugian besar bagi peternak mandiri yang memiliki populasi ayam hingga 6 juta ekor.

"Jika dibandingkan dengan harga acuan, maka ada selisih kerugian setidaknya Rp9.000 per kilogram. Kerugian para peternak mandiri dengan populasi 6 juta ekor,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika.

Dengan berat rata-rata per ekor ayam hidup 1,6 kilogram dan jumlah produksi 9,6 juta kg per minggu, estimasi kerugian mencapai Rp 86,4 miliar setiap minggunya. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah, kerugian ini diperkirakan akan terus berlanjut dan mencapai Rp 691,2 miliar pada akhir Mei 2025.

Ombudsman RI Minta Pemerintah Lakukan Intervensi

Menanggapi situasi ini, Ombudsman RI mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional, untuk segera melakukan langkah-langkah intervensi. Beberapa saran yang diberikan oleh Ombudsman antara lain:

  • Penyerapan Kelebihan Produksi: Pemerintah dapat menyerap kelebihan produksi ayam hidup sebagai cadangan pangan nasional atau mengalokasikannya ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Langkah ini diharapkan dapat menstabilkan harga dan mengurangi kerugian peternak.
  • Koordinasi dengan Pelaku Usaha: Pemerintah perlu berkoordinasi dengan seluruh pelaku usaha di sektor perunggasan, terutama perusahaan breeding dan feedmill, untuk berpartisipasi dalam penyerapan produksi ayam hidup.
  • Pengawasan Setting Hatching Record (SHR): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian diminta untuk meningkatkan pengawasan terhadap Setting Hatching Record (SHR) ayam hidup setiap minggu. Tujuannya adalah untuk memastikan jumlah produksi tidak melebihi permintaan (demand).

Ombudsman menilai bahwa jatuhnya harga ayam hidup saat ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan SHR Day Old Chicken (DOC) atau anak ayam yang baru menetas. Idealnya, pemerintah memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengevaluasi SHR agar sesuai dengan jumlah permintaan DOC di lapangan.

Jumlah permintaan DOC per minggunya berkisar antara 60 juta hingga 65 juta ekor. Namun, pada Maret 2025, SHR mencapai 70 juta ekor per minggu, yang menyebabkan oversupply dan penurunan harga.

Salah satu penyebab peningkatan produksi ayam hidup adalah harga DOC yang tinggi pada Februari 2025, mencapai Rp 7.000 hingga Rp 8.500 per ekor. Namun, saat ini harga DOC hanya Rp 500 karena oversupply.

Ombudsman menekankan pentingnya pengendalian SHR dan koordinasi dengan seluruh pelaku usaha untuk mengatasi masalah ini dan melindungi peternak ayam dari kerugian lebih lanjut.