Duta Palma Group Ajukan Eksepsi, Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dianggap Kedaluwarsa
Korporasi PT Duta Palma Group melalui kuasa hukumnya mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2025). Keberatan tersebut diajukan terkait kasus dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit ilegal di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Tim kuasa hukum Duta Palma Group berpendapat bahwa dakwaan yang diajukan oleh JPU telah melewati batas waktu penuntutan atau kedaluwarsa. Argumentasi ini didasarkan pada kurun waktu yang tercantum dalam surat dakwaan, yaitu antara tahun 2004 hingga 2022. Mereka beranggapan bahwa, mengacu pada Pasal 78 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta pasal-pasal yang didakwakan, kewenangan JPU untuk melakukan penuntutan terhadap para terdakwa telah gugur setelah tahun 2022.
Kuasa hukum juga menyoroti sejumlah poin krusial dalam dakwaan JPU, di antaranya:
- Ketidakcermatan Surat Dakwaan: Kuasa hukum Duta Palma Group menilai surat dakwaan yang diajukan oleh JPU tidak cermat dan meminta majelis hakim untuk menyatakan surat dakwaan tersebut batal demi hukum.
- Kewenangan Pengadilan: Pihaknya mempertanyakan kewenangan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam mengadili perkara ini. Mereka berpendapat bahwa dakwaan terkait kerugian negara senilai Rp 73 triliun lebih didasarkan pada asumsi perhitungan kerusakan lingkungan.
- Perkara Lingkungan Hidup: Menurut kuasa hukum, perkara ini seharusnya diadili oleh majelis hakim yang khusus menangani perkara lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Sebelumnya, PT Duta Palma Group didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU) yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 4,79 triliun dan 7,88 juta dolar AS. Jaksa Bertinus Haryadi Nugroho, dalam pembacaan dakwaan, menjelaskan bahwa kerugian negara tersebut disebabkan oleh tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Duta Palma Group melalui beberapa anak perusahaannya.
Adapun anak perusahaan tersebut adalah PT Palma Satu, PT Seberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Kencana Amal Tani, PT Darmex Plantations, dan PT Asset Pacific. Dana hasil korupsi tersebut diduga dialirkan ke PT Darmex Plantations, yang merupakan holding perusahaan perkebunan milik Surya Darmadi, dan kemudian digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk pembagian dividen, pembayaran utang, dan penyetoran modal.
Selanjutnya, dana tersebut ditransfer ke PT Asset Pacific, PT Monterado Mas, PT Alfa Ledo, dan perusahaan afiliasi lainnya. Perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan pembelian aset atau menguasai aset atas nama perusahaan maupun perorangan, termasuk kepemilikan uang yang bersumber dari hasil korupsi. Tindakan ini diduga bertujuan untuk menyamarkan asal usul uang hasil kejahatan.
Selain kerugian keuangan negara, JPU juga mendakwa Duta Palma Group telah merugikan perekonomian negara sebesar Rp 73,9 triliun. Kerugian ini didasarkan pada laporan dari Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada.
Dalam perkara ini, PT Palma Satu, PT Seberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, dan PT Kencana Amal Tani diwakili oleh Tovariga Triaginta Ginting selaku direktur kelima perusahaan. Sementara PT Darmex Plantations dan PT Asset Pacific diwakili oleh Surya Darmadi selaku pemilik manfaat kedua perusahaan.
PT Duta Palma Group didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 20 juncto Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 3 atau Pasal 4 juncto Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.