Polemik QRIS: Indonesia Diminta Pertahankan Kedaulatan Ekonomi di Tengah Kritik AS

Pakar ekonomi dan Bank Indonesia (BI) menanggapi kritikan yang dilayangkan Amerika Serikat (AS) terkait sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Kritik tersebut tertuang dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Inti keluhan AS adalah kurangnya transparansi dan keterlibatan perusahaan asing dalam perumusan kebijakan QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang dianggap dapat menghambat perdagangan.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa keluhan AS tidak berdasar. Menurutnya, QRIS sejak awal dirancang untuk mendorong inklusi keuangan, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ia menegaskan bahwa perusahaan asing tetap memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam sistem QRIS dengan mengajukan aplikasi ke Bank Indonesia (BI).

Wijayanto menjelaskan bahwa salah satu alasan kurangnya minat perusahaan pembayaran global seperti Visa dan Mastercard terhadap QRIS adalah biaya transaksi yang jauh lebih rendah. Untuk transaksi UMKM di bawah Rp500 ribu, misalnya, tidak dikenakan biaya (0%), berbeda dengan Visa atau Mastercard yang mengenakan biaya hingga 1,8-2%. Ia juga membantah bahwa GPN membatasi pemain asing, melainkan menciptakan kompetisi yang lebih sehat dan efisien. Wijayanto menekankan pentingnya Indonesia untuk tetap tegas menjaga kepentingan nasional dalam menghadapi tekanan dari negara lain, termasuk AS, yang dianggapnya sebagai bagian dari strategi negosiasi.

Bank Indonesia (BI) juga memberikan tanggapan atas kritik AS. Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menyatakan bahwa Indonesia terbuka terhadap kerja sama lintas negara dalam sistem pembayaran digital, termasuk dengan AS, asalkan kedua belah pihak siap. Ia menepis anggapan bahwa sistem pembayaran Indonesia menutup pintu bagi perusahaan asing, dengan mencontohkan dominasi kartu kredit Visa dan Mastercard di pasar domestik.

Laporan USTR yang memuat keluhan AS dirilis menjelang pengumuman kebijakan tarif impor resiprokal oleh Presiden AS, yang menargetkan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam laporan tersebut, AS menyoroti kewajiban semua transaksi ritel domestik diproses melalui lembaga switching lokal berlisensi BI, sesuai dengan Peraturan BI Nomor 19/08/2017. AS menilai hal ini sebagai hambatan pasar karena membatasi opsi lintas batas. Namun, Indonesia berpendapat bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem pembayaran yang lebih inklusif, efisien, dan sesuai dengan kepentingan nasional. Pakar dan otoritas di Indonesia sepakat bahwa pemerintah harus mengutamakan kepentingan dalam negeri dalam menghadapi tekanan internasional terkait QRIS dan GPN.