Bea Cukai Indonesia Tanggapi Kritik AS Terkait Pemeriksaan Impor dan Potensi Korupsi

Bea Cukai Indonesia Menjawab Sorotan AS Terkait Prosedur Pemeriksaan Barang Impor

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memberikan tanggapan resmi terhadap kritik yang dilayangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait praktik pemeriksaan rutin barang masuk di Indonesia. Sorotan utama AS adalah potensi korupsi dan beban administratif yang timbul akibat prosedur yang berlaku.

Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC, menjelaskan bahwa penentuan nilai pabean di Indonesia didasarkan pada nilai transaksi barang impor yang dilaporkan sendiri (self-assessment) sebagai dasar perhitungan bea masuk. Ia menambahkan bahwa Bea Cukai menggunakan sistem rentang nilai (price range) sebagai acuan kewajaran, namun bukan sebagai harga penetapan final. Respon lengkap terhadap kekhawatiran United States Trade Representative (USTR) sedang disiapkan lintas kementerian untuk dikoordinasikan lebih lanjut dengan USTR.

Menurut Nirwala, pelayanan dan pengawasan kepabeanan yang dilakukan Indonesia selama ini sejalan dengan ketentuan WTO Trade Facilitation Agreement (TFA). Bea Cukai disebut terus memperkuat kepatuhan pelaku usaha terhadap peraturan kepabeanan, menjaga penerimaan negara, dan mencegah perdagangan ilegal.

Penjelasan Terkait Denda dan Koordinasi dengan AS

Nirwala menjelaskan bahwa pengenaan denda merupakan sanksi bagi pelaku usaha yang menyampaikan nilai barang tidak sesuai dengan kenyataan. Tindakan ini dianggap penting untuk melindungi negara dari pemasukan barang-barang ilegal dan merugikan. Bea Cukai mengklaim proses penetapan denda dilakukan secara transparan dan akuntabel, memberikan kesempatan bagi pelaku usaha yang tidak setuju untuk mengajukan keberatan dan banding.

Bea Cukai RI secara berkala melakukan koordinasi dan komunikasi terkait mekanisme perdagangan AS-Indonesia, termasuk pembaruan mengenai penguatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan. Koordinasi ini dilakukan setiap tahun dengan US-ASEAN Business Council (US-ABC) dan US Chambers. Informasi ini juga akan disampaikan kepada USTR sebagai bahan tambahan dalam perundingan tarif perdagangan.

Kritik AS dalam Laporan National Trade Estimate

Kritik Pemerintah AS terhadap praktik Bea Cukai Indonesia tertuang dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers. Laporan tersebut membahas hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. USTR menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan-perusahaan AS terkait praktik bea cukai Indonesia, khususnya dalam penilaian bea masuk.

USTR menyoroti bahwa pejabat Bea Cukai Indonesia seringkali mengandalkan jadwal harga referensi, alih-alih menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) World Trade Organization (WTO). Selain itu, eksportir AS melaporkan perbedaan penentuan nilai bea masuk di berbagai wilayah, meskipun untuk produk yang sama.

Sorotan Terhadap Peraturan Menteri Perdagangan dan Keuangan

Laporan NTE juga menyoroti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2021 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan Luar Negeri. Peraturan ini mewajibkan verifikasi pra-pengiriman oleh surveyor untuk berbagai produk, termasuk elektronik, tekstil, alas kaki, mainan, makanan, minuman, dan kosmetik. USTR mencatat bahwa Indonesia belum memberitahukan aturan tersebut kepada WTO sesuai dengan Perjanjian WTO tentang Pemeriksaan Pra-pengiriman.

USTR juga menyoroti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2022 yang menetapkan operasi kepabeanan untuk barang tidak berwujud, seperti transmisi atau unduhan elektronik. Peraturan ini dinilai menciptakan beban administratif yang signifikan bagi industri AS karena memberlakukan persyaratan penyimpanan dokumen baru yang tidak terdefinisi dan tidak pasti. AS telah menyampaikan kekhawatiran tentang peraturan ini ke Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.

Insentif Petugas Bea Cukai dan Potensi Korupsi

Salah satu poin krusial yang disoroti USTR adalah ketentuan imbalan atau 'bonus' bagi petugas bea cukai Indonesia, yang dapat mencapai hingga 50% dari nilai barang yang disita atau dari jumlah bea yang terutang. USTR berpendapat bahwa sistem ini berpotensi menimbulkan praktik korupsi dan beban biaya administrasi yang tinggi. Mereka mencatat bahwa Indonesia adalah salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih menerapkan sistem insentif tersebut, yang menimbulkan kekhawatiran terkait korupsi, ketidakpastian, dan kurangnya transparansi.