Polemik Disertasi Menteri Bahlil: UI Beri Pembinaan, Minta Maaf ke Civitas Akademika

Polemik Disertasi Menteri Bahlil: UI Beri Pembinaan, Minta Maaf ke Civitas Akademika

Universitas Indonesia (UI) telah memutuskan untuk tidak membatalkan disertasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, meskipun sebelumnya sempat ditangguhkan. Keputusan ini diambil setelah munculnya kontroversi terkait dugaan plagiarisme dan ketidaktransparanan dalam pengumpulan data. Sebagai gantinya, UI akan memberikan pembinaan kepada Menteri Bahlil dan meminta permohonan maaf kepada seluruh civitas akademika. Rektor UI, Heri Hermansyah, menyampaikan hal ini dalam konferensi pers di Gedung FK UI, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (7/3/2025).

Heri Hermansyah menjelaskan bahwa pembinaan yang diberikan kepada Menteri Bahlil meliputi penundaan kenaikan pangkat untuk jangka waktu tertentu dan yang terpenting, permohonan maaf kepada civitas akademika UI. Permintaan maaf ini, menurut Rektor, merupakan bagian penting dari proses pemulihan kepercayaan dan perbaikan etika akademik. Direktur Humas UI, Arie Afriansyah, menambahkan bahwa seluruh pihak yang terkait dengan disertasi tersebut juga diminta untuk menyampaikan permohonan maaf. Ini mencakup dosen pembimbing, penguji, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses penyelesaian disertasi tersebut. Pernyataan resmi dari pihak UI ini sekaligus memberikan penjelasan atas polemik yang telah beredar luas di masyarakat terkait disertasi Menteri Bahlil.

Sebelumnya, disertasi Menteri Bahlil yang berjudul "Kebijakan, Kelembagaan dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia" sempat menuai kontroversi setelah dinyatakan lulus dan memperoleh gelar doktor pada Oktober 2024. Namun, kontroversi muncul setelah beredarnya dugaan plagiarisme di media sosial. Situasi semakin memanas dengan beredarnya risalah rapat pleno Dewan Guru Besar (DGB) UI tertanggal 10 Januari 2025 yang merekomendasikan pembatalan disertasi tersebut. Risalah tersebut menyebutkan adanya ketidakjujuran dalam pengambilan data, dimana data penelitian diperoleh tanpa izin narasumber dan penggunaannya tidak transparan.

Meskipun rekomendasi DGB merekomendasikan pembatalan, UI akhirnya memutuskan untuk tidak membatalkan disertasi tersebut. Keputusan ini memicu beragam reaksi dari berbagai pihak, baik yang mendukung maupun yang mengkritik langkah UI. Pihak UI sendiri berdalih bahwa pembinaan yang diberikan dinilai cukup efektif untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. Namun, permintaan maaf kepada civitas akademika menjadi bagian penting dari proses tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dan pertanggungjawaban atas pelanggaran etika akademik yang terjadi.

Langkah UI ini menimbulkan pertanyaan mengenai standar dan konsistensi penegakan etika akademik di perguruan tinggi. Beberapa pihak mempertanyakan apakah pembinaan dan permintaan maaf sudah cukup untuk mengatasi pelanggaran akademik serius seperti yang terjadi pada kasus ini. Perdebatan ini menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan tinggi, terutama dalam hal penegakan etika akademik.

UI menyatakan komitmennya untuk terus menjaga integritas akademik dan memastikan semua proses akademik berjalan sesuai dengan aturan dan etika yang berlaku. Kejadian ini diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi seluruh civitas akademika dan mendorong perbaikan sistem dan proses akademik di UI untuk mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang. Langkah ini juga menjadi sorotan bagi perguruan tinggi lainnya dalam menerapkan standar etika akademik yang konsisten dan transparan.