Gerindra Pertanyakan Motivasi Gugatan PAW Anggota DPR di Mahkamah Konstitusi

Partai Gerindra melalui Wakil Ketua Umumnya, Habiburokhman, menyatakan kebingungannya terkait adanya gugatan terhadap pasal-pasal yang mengatur mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR. Habiburokhman menilai bahwa mekanisme PAW yang saat ini diatur dalam Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) telah sejalan dengan amanat konstitusi yang berlaku di Indonesia.

Keheranan Habiburokhman semakin bertambah ketika mendapati adanya dua permohonan yang memiliki substansi serupa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia pun mempertanyakan kemungkinan adanya pihak-pihak tertentu yang berada di balik pengajuan gugatan tersebut.

"Saya merasa aneh, bagaimana mungkin ada dua permohonan dengan konstruksi yang nyaris identik. Apakah ada pihak yang mengkoordinasi atau menggerakkan isu ini?" ungkap Habiburokhman kepada awak media.

Habiburokhman kemudian menjelaskan bahwa aturan PAW anggota DPR yang tercantum dalam UU MD3 sudah selaras dengan Pasal 22 E ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Ia berpendapat bahwa dalam praktiknya, masyarakat lebih dulu memilih partai politik, baru kemudian menentukan calon legislatif (caleg) yang akan dipilih.

"Faktanya, pemilih memang cenderung memilih partainya terlebih dahulu, baru kemudian memilih caleg yang diusung oleh partai tersebut," imbuhnya.

Lebih lanjut, Habiburokhman yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR RI, merasa ganjil apabila PAW anggota DPR dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum di daerah pemilihan (dapil). Ia menekankan bahwa untuk menjadi anggota DPR, seorang caleg harus terlebih dahulu menjadi anggota partai politik.

"Untuk menjadi anggota DPR dan DPRD, seorang caleg harus menjadi anggota partai. Oleh karena itu, akan sangat aneh jika partai tidak memiliki kewenangan terhadap anggota legislatif yang diusungnya," tegasnya.

Habiburokhman juga mengimbau kepada pihak-pihak yang berupaya memecah belah hubungan antara anggota DPR dan partai politik untuk segera menghentikan aksinya. Ia menegaskan bahwa partai politik adalah representasi dari rakyat.

"Hentikan upaya memecah belah antara anggota DPR dan partainya dengan mengatasnamakan aspirasi rakyat. Partai politik tidak seharusnya dipertentangkan dengan rakyat, karena partai adalah cerminan dari rakyat itu sendiri," pungkasnya.

Berdasarkan penelusuran di situs resmi Mahkamah Konstitusi, terdapat dua gugatan yang berkaitan dengan hak PAW anggota DPR oleh partai politik. Gugatan pertama diajukan oleh sekelompok individu yang terdiri dari Chindy Trivendy Junior, Halim Rahmansah, Insan Kamil, Muhammad Arya Ansar, dan Wahyu Dwi Kanang, dengan nomor registrasi 41/PUU-XXIII/2025. Gugatan kedua diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dengan nomor registrasi 42/PUU-XXIII/2025. Kedua gugatan tersebut sama-sama mempersoalkan pasal-pasal yang terdapat dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).

Dalam gugatan nomor 41, Chindy dkk hanya meminta MK untuk menghapus Pasal 239 ayat 2 huruf d UU MD3. Mereka berpendapat bahwa hak recall atau penggantian anggota DPR oleh partai yang diatur dalam pasal tersebut tidak lazim dalam negara demokrasi dan bertentangan dengan prinsip representasi rakyat. Sementara itu, Zico dalam gugatan nomor 42 menggugat beberapa pasal dalam UU MD3 dan satu pasal dalam UU Pemilu. Zico merasa dirugikan dengan adanya pasal tersebut.