UU TNI Terbaru: Antara Penguatan Militer dan Supremasi Sipil dalam Bingkai Konstitusi
Dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia, relasi antara kekuatan militer dan otoritas sipil selalu menjadi topik yang kompleks dan dinamis. Sejak era Demokrasi Terpimpin hingga era Reformasi, posisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) mencerminkan sejauh mana negara berhasil menyeimbangkan pertahanan yang kuat dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, muncul di tengah dinamika geopolitik regional yang kompleks, ancaman siber dan hibrida yang meningkat, serta kebutuhan internal untuk memperkuat organisasi TNI agar adaptif terhadap tugas-tugas non-konvensional. Pemerintah dan DPR berpendapat bahwa penyesuaian ini diperlukan untuk memperkuat sistem pertahanan nasional, termasuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP), fleksibilitas penempatan prajurit aktif di lembaga sipil strategis, dan perpanjangan masa dinas perwira tinggi.
Namun, perubahan ini memunculkan pertanyaan konstitusional tentang sejauh mana semangat Reformasi 1998 dan prinsip supremasi sipil tetap terjaga. Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025 mencerminkan bagaimana negara memahami dan merumuskan kembali posisi militer dalam kerangka demokrasi dan konstitusi. Telaah konstitusional terhadap undang-undang ini penting bagi semua warga negara yang percaya bahwa demokrasi sejati hanya dapat bertahan jika kekuatan bersenjata tunduk pada hukum.
Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan militer berada di bawah kendali sipil. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang TNI menyatakan bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berada di bawah presiden. Namun, penguatan peran TNI di sektor non-militer strategis, seperti intelijen, keamanan siber, narkotika, dan Mahkamah Agung, menimbulkan pertanyaan tentang batas konstitusional penempatan prajurit aktif di ruang sipil.
Prinsip supremasi sipil mengharuskan sektor sipil tetap berada di bawah kendali aktor sipil. Pasal 47 Undang-Undang TNI hasil revisi, yang memperluas daftar kementerian/lembaga tempat prajurit aktif dapat ditugaskan, harus diinterpretasikan dengan hati-hati agar tidak membuka peluang bagi munculnya kembali praktik dwifungsi militer dalam bentuk modern.
Salah satu aspek konstitusional yang menjadi sorotan adalah Pasal 53 Undang-Undang TNI, yang menaikkan usia pensiun perwira tinggi TNI hingga 63 tahun, dengan potensi perpanjangan hingga dua kali oleh presiden. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dibandingkan dengan usia pensiun anggota Polri yang tetap 58 tahun. Pasal 30 UUD 1945 menempatkan TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dalam sistem terpadu. Perlakuan asimetris terhadap TNI dan Polri dalam hal usia pensiun dapat merusak kesetaraan komponen utama dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Penentuan usia pensiun prajurit TNI seharusnya didasarkan pada kajian ilmiah yang kuat mengenai usia produktif, kebutuhan personel, dan proyeksi ancaman keamanan di masa depan.
Salah satu masalah mendasar dalam pembangunan sistem pertahanan pasca-Reformasi adalah belum adanya tafsir konstitusional yang resmi, komprehensif, dan operasional mengenai makna Sishankamrata sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Frasa "usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung" adalah amanat normatif yang memerlukan penjabaran institusional agar tidak hanya menjadi retorika konstitusional.
Tanpa tafsir konstitusional yang memadai, kebijakan strategis pertahanan negara berisiko disusun dengan pendekatan teknokratis, sektoral, atau politis, bukan berdasarkan kerangka normatif yang sahih dan berkelanjutan. Tantangan pertahanan Indonesia telah berkembang pesat. Laporan Global Firepower 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-13 dari 145 negara dalam kekuatan militer global. Namun, rasio jumlah personel aktif terhadap penduduk masih rendah.
Ketiadaan tafsir konstitusional atas Sishankamrata juga berdampak pada tidak adanya standar legal formal dalam membangun struktur hubungan antara komponen utama (TNI dan Polri), komponen cadangan, dan komponen pendukung. Misalnya, hingga tahun 2023, jumlah komponen cadangan yang direkrut masih jauh dari target ideal. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun Sishankamrata terus disebut dalam berbagai dokumen kebijakan, belum ada kerangka konstitusional yang operasional dan mengikat dalam implementasinya.
Mahkamah Konstitusi perlu memberikan tafsir konstitusional yang progresif dan substantif terhadap Pasal 30 UUD 1945. Tafsir ini penting agar pembentuk undang-undang memiliki pijakan hukum yang sahih dalam menyusun norma terkait pertahanan dan keamanan negara. Tafsir konstitusional yang kokoh akan menjadi fondasi untuk memastikan setiap perluasan peran TNI atau perubahan struktur organisasi militer tetap berada dalam bingkai demokrasi konstitusional.
Menjaga profesionalitas dan modernisasi TNI merupakan keniscayaan di tengah dinamika ancaman global. Namun, semua perubahan harus dilakukan dalam batas konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang menjadi fondasi reformasi militer sejak 1998. Undang-Undang TNI 2025 harus diuji tidak hanya dari segi efektivitas strategis, tetapi juga dari segi legitimasi hukum tertinggi bangsa. Negara yang kuat adalah negara yang memiliki tentara modern yang tunduk pada kendali sipil, hukum, dan kepercayaan rakyat. Dalam demokrasi, kepercayaan adalah fondasi.