Bayi di Samarinda Diduga Alami Disabilitas Akibat Komplikasi Pascaoperasi, DPRD Turun Tangan
Kisah pilu menimpa seorang bayi berusia 16 bulan di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah menjalani serangkaian operasi untuk mengatasi infeksi cairan di otak, kondisinya justru memburuk drastis. Keluarga menduga adanya malfungsi alat medis yang digunakan selama operasi sebagai penyebab utama. Bayi tersebut kini diduga mengalami kebutaan dan kelumpuhan pada sebagian tubuhnya.
Kasus ini telah menarik perhatian publik dan mendorong Anggota DPRD Samarinda, Adnan Faridhan, untuk melakukan investigasi langsung. Bersama dengan Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, Adnan mengunjungi RSUD Abdul Wahab Sjahranie, tempat bayi tersebut dirawat, pada Selasa (22/4/2025). Kunjungan ini dilakukan setelah menerima laporan dari TRC PPA mengenai kondisi bayi yang semakin memprihatinkan.
Adnan mengungkapkan bahwa keluarga pasien menduga alat medis yang dipasang untuk menangani penumpukan cairan di otak tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Alat tersebut diduga mengalami gangguan, sehingga gagal menjalankan fungsinya.
"Sudah tiga kali operasi sejak Februari, tetapi kondisi anak ini malah semakin memburuk. Keluarga menyampaikan bahwa alat yang dipasang mengalami gangguan, bahkan sampai muncul gejala kebutaan dan kelumpuhan," ujar Adnan setelah mengunjungi rumah sakit.
Guna mendapatkan informasi yang berimbang, Adnan berupaya menemui pihak medis rumah sakit. Namun, karena kunjungan dilakukan di luar jam kerja, ia belum berhasil bertemu dengan dokter atau pihak yang menangani kasus ini secara langsung. Adnan berencana untuk kembali ke rumah sakit pada hari berikutnya untuk bertemu dengan Direktur RSUD dan mencari penjelasan lebih lanjut.
Selain itu, Adnan juga mendapat informasi bahwa pasien sempat diminta untuk keluar dari rumah sakit karena ibu dari bayi tersebut menolak tindakan revisi terhadap alat medis yang sebelumnya dipasang. Adnan menilai bahwa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat kondisi bayi yang sangat rentan dan membutuhkan perawatan intensif.
"Tadi pagi kabarnya kalau ibunya tidak menyetujui tindakan, maka harus keluar. Tapi saya lihat sendiri, anak ini tidak merespons apa-apa. Tidak bergerak, matanya kosong, bahkan seperti menahan sakit terus-menerus. Saya langsung meminta kepada perawat agar jangan dikeluarkan," tegasnya.
Adnan mengapresiasi pihak rumah sakit yang akhirnya memutuskan untuk tidak memulangkan pasien dan akan menunggu hasil evaluasi medis lebih lanjut. Ia berharap pertemuannya dengan Direktur RSUD dapat memberikan kejelasan dan solusi terbaik bagi keluarga pasien.
Pihak RSUD Abdul Wahab Sjahranie melalui Kepala Instalasi Humas, dr. Arysia Andhina, mengakui bahwa kemungkinan kegagalan alat medis memang bisa terjadi, terutama pada pasien anak-anak di bawah usia dua tahun.
"Secara medis, pada usia di bawah dua tahun, kemungkinan terjadinya kegagalan alat itu sekitar empat persen. Jadi, bukan karena kesalahan tindakan dari tenaga medis, tetapi memang ada potensi kegagalan dari alat itu sendiri," jelas Arysia.
Ia menambahkan bahwa risiko kegagalan alat juga dapat meningkat seiring dengan pertumbuhan pasien, seperti perubahan berat badan yang dapat memengaruhi fungsi alat. Namun, Arysia belum dapat memberikan kepastian mengenai penyebab kondisi bayi tersebut karena masih akan berkoordinasi dengan tim medis yang menangani secara langsung.
"Soal informasi bahwa pasien disuruh pulang, kami akan konfirmasi dulu ke ruang perawatan. Karena biasanya, pasien tidak pernah dipulangkan di malam hari. Kalau pun ada anjuran pulang, itu biasanya karena tindakan medis tidak lagi bisa dilakukan, tapi harus dikomunikasikan secara jelas ke keluarga pasien," terangnya.
Pihak rumah sakit berjanji akan memberikan penjelasan resmi setelah melakukan koordinasi internal dan mengumpulkan informasi yang lengkap terkait kasus ini.