Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di Ponpes Lombok Barat, Jumlah Korban Bertambah

Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), terus bergulir. Terbaru, jumlah korban yang melapor dan mengaku menjadi korban pencabulan oknum pimpinan yayasan ponpes tersebut bertambah menjadi sembilan orang.

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, kesembilan korban tersebut merupakan alumni ponpes yang melapor. Tindak pidana tersebut diduga terjadi antara tahun 2016 hingga 2023. Saat kejadian, para korban masih berstatus pelajar SMP dan SMA.

Saat ini, LPA Kota Mataram bersama dengan koalisi stop kekerasan seksual NTB tengah fokus memberikan pendampingan psikologis dan hukum kepada para korban. Joko menjelaskan bahwa pihaknya tengah memproses pengajuan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta permohonan restitusi sebagai hak korban.

"Hari ini kami memproses perlindungan ke LPSK dan permohonan restitusi sebagai hak dari korban, ini kita sedang siapkan berkasnya bersama korban," kata Joko.

Joko menambahkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dalam menangani kasus ini. Ia menekankan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual memerlukan kerjasama dan kolaborasi dari berbagai pihak.

Lebih lanjut, Joko menyatakan bahwa proses penelusuran terhadap kemungkinan adanya korban lain masih terus dilakukan. Pihaknya akan berupaya membantu semua korban, baik yang masih aktif sebagai santri maupun yang sudah lulus dari ponpes tersebut.

Kasus ini bermula dari laporan terhadap AF, pimpinan yayasan ponpes di Lombok Barat, atas dugaan pencabulan terhadap santriwati. Kasus ini mencuat setelah percakapan di grup alumni ponpes terkait film 'Bidaah (Walid)' yang tengah viral, mengungkap adanya dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren.