Sindrom Iritasi Usus Besar (IBS): Kenali Gejala dan Cara Mengatasinya
Seringkali, masalah pencernaan dianggap sebagai hal sepele yang bisa hilang dengan sendirinya. Padahal, gangguan pada sistem pencernaan, meskipun bukan tergolong penyakit menular atau mematikan, dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup seseorang. Salah satu gangguan pencernaan yang kerap terjadi namun kurang disadari adalah Sindrom Iritasi Usus Besar atau Irritable Bowel Syndrome (IBS). Kondisi ini ditandai dengan serangkaian gejala yang bisa sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Menurut Dr. I Ketut Mariadi, Sp.PD-KGEH, seorang ahli gastroenterhepatologi dari RS Siloam Denpasar, Bali, IBS menyebabkan perubahan pola buang air besar yang tidak teratur, disertai dengan kram perut, perut kembung, diare, atau konstipasi. Kondisi ini bersifat kronis, yang berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Penting untuk dipahami bahwa IBS berbeda dengan penyakit radang usus atau penyakit celiac. Pada IBS, tidak ditemukan adanya kerusakan struktural pada saluran pencernaan. Dr. Ketut menjelaskan bahwa IBS termasuk dalam kategori penyakit fungsional, di mana tidak ditemukan kelainan fisik pada usus, tetapi fungsinya terganggu. Oleh karena itu, penanganan IBS lebih difokuskan pada manajemen gejala dan perubahan gaya hidup.
Mengenali Gejala IBS
Gejala IBS dapat bervariasi antara individu yang satu dengan yang lain. Namun, secara umum, gejala-gejala tersebut dapat diringkas dalam akronim ABCD:
- Abdominal pain (Nyeri perut)
- Bloated (Perut kembung)
- Constipation (Konstipasi/susah buang air besar)
- Diarrhea (Diare)
Diagnosis IBS ditegakkan jika pasien mengalami nyeri perut setidaknya satu kali per minggu dalam tiga bulan terakhir, dan keluhan tersebut telah berlangsung minimal enam bulan. Nyeri perut tersebut juga harus disertai dengan dua dari tiga gejala berikut:
- Nyeri yang membaik setelah buang air besar.
- Nyeri yang berkaitan dengan perubahan frekuensi buang air besar (menjadi lebih sering atau lebih jarang).
- Nyeri yang disertai perubahan bentuk tinja.
Namun, penting untuk waspada jika perubahan pola buang air besar disertai dengan penurunan berat badan drastis, perdarahan dari anus, atau demam. Dalam kondisi tersebut, pemeriksaan medis lanjutan sangat dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain yang lebih serius.
Faktor Pemicu dan Cara Mengatasi IBS
IBS dapat dipicu atau diperburuk oleh beberapa faktor, terutama makanan dan kondisi psikis. Makanan tinggi lemak, pedas, mengandung pemanis buatan, kafein, alkohol, atau produk susu sering kali memperparah gejala IBS. Zat-zat ini sulit dicerna di usus kecil dan akan difermentasi di usus besar, memicu produksi gas berlebih, nyeri perut, dan perubahan frekuensi buang air besar.
Selain faktor makanan, stres dan kecemasan juga memegang peranan penting dalam perkembangan IBS. Stres kronis dapat meningkatkan sensitivitas usus terhadap rasa sakit dan memperburuk reaksi sistem pencernaan terhadap makanan tertentu. Oleh karena itu, manajemen stres menjadi bagian integral dari penanganan IBS.
Penanganan IBS berfokus pada pengelolaan gejala melalui berbagai pendekatan, termasuk perubahan pola makan, seperti diet rendah FODMAP (menghindari bawang putih, bawang bombai, apel, dan kembang kol), dan manajemen stres melalui teknik relaksasi atau konseling. Aktivitas fisik ringan, seperti yoga atau jalan kaki, juga terbukti membantu meningkatkan pergerakan usus dan mengurangi ketegangan saat sedang dilanda kecemasan. Dalam beberapa kasus, obat-obatan mungkin diperlukan untuk mengatasi diare, konstipasi, atau nyeri perut yang menyertai IBS. Dr. Ketut menekankan pentingnya bagi pasien untuk memahami bahwa IBS dapat dikontrol dengan pengelolaan yang tepat. Kombinasi antara perubahan gaya hidup, diet yang sesuai, serta pengobatan yang diresepkan oleh dokter dapat membantu pasien hidup lebih nyaman dengan kondisi IBS mereka.