Ketika Kekuasaan Menyalahgunakan Kepercayaan: Refleksi atas Kekerasan Seksual di Lingkungan Akademik dan Medis

Luka di Balik Jubah: Mengungkap Penyalahgunaan Kekuasaan di Lembaga Pendidikan dan Kesehatan

Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademik dan medis menjadi tamparan keras bagi kita semua. Lembaga yang seharusnya menjadi tempat aman dan terpercaya, justru ternodai oleh tindakan oknum yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan yang diberikan. Gelar akademik tinggi dan profesi mulia, sayangnya, tidak menjadi jaminan moralitas seseorang.

Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan, seperti pelecehan yang dilakukan oleh seorang guru besar terhadap mahasiswinya dan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap keluarga pasien, hanyalah puncak gunung es. Lebih jauh, kasus-kasus ini mengindikasikan adanya masalah sistemik yang berakar kuat dalam relasi kuasa yang timpang. Di lingkungan akademik, dosen memiliki kendali atas nilai dan kelulusan mahasiswa. Di lingkungan medis, dokter memiliki otoritas dalam menentukan diagnosis dan pengobatan pasien. Kekuasaan ini, alih-alih digunakan untuk kebaikan, justru disalahgunakan untuk memanipulasi dan mengeksploitasi mereka yang berada dalam posisi rentan.

Budaya Feodal dan Impunitas: Akar Masalah yang Harus Diberantas

Salah satu akar masalah utama dari kekerasan seksual di lingkungan akademik dan medis adalah budaya feodal yang masih mengakar kuat. Senioritas dan hierarki yang kaku menciptakan lingkungan di mana kritik dan perbedaan pendapat sulit untuk disuarakan. Mahasiswa dan staf enggan melaporkan tindakan pelecehan atau kekerasan karena takut diasingkan atau mendapat sanksi. Pasien pun seringkali sungkan untuk bersuara karena takut dianggap merepotkan atau mempengaruhi kualitas pelayanan yang mereka terima.

Budaya diam ini menciptakan impunitas bagi pelaku. Mereka merasa aman karena tahu bahwa korban tidak akan berani melapor atau bersuara. Institusi pun seringkali lebih fokus pada menjaga citra daripada menindak tegas pelaku dan melindungi korban. Akibatnya, kekerasan seksual terus berulang dan merajalela.

Membangun Ruang Aman: Keberpihakan pada Korban dan Ketegasan pada Pelaku

Untuk menciptakan ruang aman yang benar-benar aman, dibutuhkan perubahan mendasar dalam sistem dan budaya. Pertama, institusi harus berani mengakui adanya masalah dan berkomitmen untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual tanpa pandang bulu. Proses hukum harus berjalan transparan dan adil, tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Kedua, budaya feodal dan impunitas harus diberantas. Senioritas dan hierarki harus dihormati, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Mahasiswa, staf, dan pasien harus merasa aman dan nyaman untuk melaporkan tindakan pelecehan atau kekerasan tanpa takut mendapat sanksi.

Ketiga, korban harus didukung dan dilindungi. Mereka harus diberikan akses ke layanan konseling, bantuan hukum, dan perlindungan dari intimidasi atau reviktimisasi. Suara mereka harus didengar dan dipercaya, bukan malah disalahkan atau dihakimi.

Penghapusan kekerasan seksual di lingkungan akademik dan medis adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan keberpihakan pada korban, ketegasan pada pelaku, dan perubahan sistemik yang mendasar, kita dapat menciptakan ruang aman yang benar-benar aman bagi semua.

  • Peran Institusi: Transparansi dalam penanganan kasus, penegakan hukum yang adil.
  • Perubahan Budaya: Menghilangkan budaya feodal dan membangun kesetaraan.
  • Dukungan Korban: Menyediakan layanan konseling dan bantuan hukum.