Maraknya Perdagangan Seks di Distrik Hiburan Tokyo: Dampak Pandemi dan Jeratan Ekonomi

markdown Fenomena perdagangan seks di Jepang, khususnya di sekitar Taman Okubo, Tokyo, telah menjadi sorotan tajam dalam beberapa waktu terakhir. Distrik yang berdekatan dengan Kabukicho, yang terkenal dengan ikon Godzilla-nya, kini menarik perhatian internasional karena aktivitas yang mengkhawatirkan ini. Setiap malam, sejumlah perempuan muda terlihat menjajakan diri kepada wisatawan asing, sebuah pemandangan yang semakin marak setelah viralnya konten di media sosial.

Video-video yang beredar di platform seperti TikTok dan Bilibili telah memicu rasa ingin tahu wisatawan dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan, China, Taiwan, Amerika Utara, dan Eropa. Keterbatasan bahasa pun bukan lagi menjadi penghalang, dengan penggunaan aplikasi penerjemah untuk memfasilitasi komunikasi antara pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggan asing. Fenomena ini mencerminkan perubahan dinamika dalam industri seks di Jepang, di mana turis asing menjadi target utama karena daya beli yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan pelanggan lokal.

Menurut penuturan Ria, seorang PSK yang beroperasi di area tersebut, preferensi terhadap turis asing didasari oleh kondisi ekonomi Jepang yang sedang lesu dan kekhawatiran akan razia oleh petugas berpakaian preman. Turis asing dinilai lebih bersedia membayar tanpa menawar, bahkan seringkali memberikan tip. Selain itu, risiko tertangkap polisi juga dianggap lebih kecil ketika melayani pelanggan dari luar negeri.

Tarif yang ditawarkan bervariasi, mulai dari 15 ribu hingga 30 ribu yen (sekitar Rp 1,8 juta sampai Rp 3,6 juta). Namun, persaingan yang ketat dan kondisi ekonomi yang sulit memaksa para PSK untuk menyesuaikan harga. Azu, seorang PSK berusia 19 tahun, mengaku bisa mendapatkan 20 ribu yen per jam dari turis asing dengan syarat tertentu.

Di balik gemerlapnya "pasar bebas" ini, tersembunyi berbagai sisi gelap. Banyak perempuan muda yang beroperasi secara independen tanpa perlindungan, rentan terhadap pelecehan, perekaman tanpa izin, dan bahkan penipuan. Kurangnya sistem hukum yang melindungi hak-hak mereka semakin memperburuk situasi ini.

Arata Sakamoto dari organisasi nirlaba Rescue Hub, berusaha memberikan bantuan bagi para PSK yang ingin keluar dari lingkaran eksploitasi. Organisasinya menyediakan tempat aman berupa apartemen, di mana para perempuan dapat beristirahat, makan, dan mendapatkan dukungan emosional. Sakamoto mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah PSK adalah dampak jangka panjang dari pandemi COVID-19.

"Dulu, sepuluh tahun lalu, tidak banyak perempuan Jepang yang mau terjun ke dunia ini. Tapi pandemi membuat banyak dari mereka kehilangan pekerjaan dan akhirnya menjual diri demi bertahan hidup," ujarnya.

Ironisnya, hukum di Jepang saat ini hanya memberikan sanksi kepada PSK, sementara pelanggan dibebaskan dari hukuman. Hal ini mendorong berbagai pihak untuk menyerukan perubahan kebijakan yang lebih adil, dengan tujuan menekan eksploitasi terhadap perempuan dari akarnya.

Kepolisian Tokyo hingga kini belum memberikan tanggapan resmi atas fenomena meningkatnya perdagangan seks di Taman Okubo. Pihak kepolisian hanya menyatakan bahwa patroli telah ditingkatkan sejak Desember lalu. Namun, dengan terus menyebarnya konten viral yang mempromosikan wisata seks, kekhawatiran publik semakin meningkat.