Galungan: Simbol Kemenangan Dharma dalam Tradisi Hindu Bali

Hari Raya Galungan, sebuah perayaan penting bagi umat Hindu di Bali, diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan kalender Bali. Lebih dari sekadar perayaan keagamaan, Galungan adalah representasi mendalam dari kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan), sebuah tema sentral dalam kosmologi Hindu.

Perayaan ini berakar pada legenda pertarungan antara Mpu Sangkul Putih, seorang tokoh agama yang saleh, dan Raja Mayadenawa, seorang penguasa yang lalim. Mayadenawa, yang diberkahi dengan kekuatan luar biasa, menyalahgunakan kekuasaannya dengan melarang rakyatnya beribadah dan memaksa mereka untuk menyembahnya sebagai tuhan. Tindakan tirani ini memicu kemarahan para dewa dan mengganggu keseimbangan alam semesta.

Mpu Sangkul Putih, yang prihatin dengan penderitaan rakyat, melakukan perjalanan spiritual ke Jawa Dwipa (India) untuk mencari bantuan. Di sana, ia memohon kepada Dewa Indra, penguasa langit dan cuaca, untuk campur tangan. Dewa Indra, tergerak oleh ketulusan Mpu Sangkul Putih, setuju untuk membantunya.

Dengan bantuan Dewa Indra, Mpu Sangkul Putih kembali ke Bali dan menghadapi Mayadenawa dalam pertempuran sengit. Pertempuran ini tidak hanya merupakan konfrontasi fisik, tetapi juga simbol dari perjuangan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Akhirnya, Mpu Sangkul Putih berhasil mengalahkan Mayadenawa, memulihkan keadilan dan kebebasan beragama bagi rakyat Bali.

Sejak saat itu, Hari Raya Galungan diperingati sebagai simbol kemenangan Dharma atas Adharma. Perayaan ini menjadi pengingat bagi umat Hindu untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut catatan sejarah dalam Lontar Purana Bali Dwipa, perayaan Galungan pertama kali diadakan pada tahun 882 Masehi. Meskipun sempat mengalami masa-masa vakum, tradisi ini tetap hidup dan terus dilestarikan oleh umat Hindu di Bali hingga saat ini.

Rangkaian perayaan Galungan sendiri terdiri dari serangkaian upacara dan persiapan yang dimulai jauh sebelum hari puncak. Berikut adalah tahapan-tahapan penting dalam rangkaian perayaan Galungan:

  • Tumpek Wariga: Dilaksanakan 25 hari sebelum Galungan, upacara ini merupakan penghormatan kepada tumbuh-tumbuhan dan alam sebagai sumber kehidupan.
  • Sugihan Jawa: Dilakukan pada Kamis Wage wuku Sungsang, merupakan hari pembersihan diri secara lahir dan batin.
  • Sugihan Bali: Dilakukan pada Jumat Kliwon wuku Sungsang, kelanjutan dari Sugihan Jawa dengan fokus pada pembersihan tempat suci dan lingkungan.
  • Penyekeban: Dilakukan pada Minggu Pahing wuku Dungulan, hari untuk menenangkan diri dan mempersiapkan mental sebelum Galungan.
  • Penyajan: Dilakukan pada Senin Pon wuku Dungulan, hari pembuatan jajanan tradisional untuk persembahan.
  • Penampahan: Dilakukan sehari sebelum Galungan atau Selasa Wage wuku Dungulan, penyembelihan hewan kurban sebagai persembahan.
  • Hari Raya Galungan: Dirayakan pada Rabu Kliwon wuku Dungulan, puncak perayaan dengan persembahyangan di pura dan berkumpul bersama keluarga.
  • Umanis Galungan: Dilakukan pada Kamis Umanis wuku Dungulan, hari bersilaturahmi dan berbagi kebahagiaan dengan kerabat dan teman.
  • Pemaridan Guru: Dilakukan pada Sabtu Pon wuku Galungan, upacara untuk memohon keselamatan dan keberkahan.
  • Ulihan: Dilakukan pada Minggu Wage wuku Kuningan, hari kembalinya para dewa ke kahyangan.
  • Pemacekan Agung: Dilakukan pada Senin Kliwon wuku Kuningan, upacara untuk memperkuat energi spiritual.
  • Hari Kuningan: Dirayakan 10 hari setelah Galungan, sebagai penutup rangkaian perayaan dengan persembahyangan dan penyucian diri.

Dengan rangkaian upacara yang kaya makna dan simbolisme, Hari Raya Galungan tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga cerminan dari kearifan lokal dan identitas budaya masyarakat Hindu Bali.