Skandal Kekerasan Seksual di UGM: Desakan Penerapan Hukum Pidana dan Perlindungan Korban
Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Edy Meiyanto, telah mencoreng citra dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya sekadar pelanggaran etika, melainkan juga dugaan tindak pidana serius yang membutuhkan penanganan hukum yang komprehensif. Terungkapnya kasus ini melalui laporan investigasi media massa memicu gelombang keprihatinan dan tuntutan keadilan dari berbagai pihak.
Laporan tersebut mengungkap dugaan bahwa Prof. Edy Meiyanto telah melakukan serangkaian tindakan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswi, mulai dari jenjang S1 hingga S3. Modus operandi yang digunakan terbilang licik, memanfaatkan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Bimbingan di luar kampus, kontak fisik yang tidak senonoh dengan dalih pemeriksaan kesehatan, hingga permintaan foto pribadi menjadi beberapa cara yang diduga digunakan pelaku untuk melancarkan aksinya. Bahkan, beberapa korban mengaku mengalami pelecehan fisik yang lebih parah di kediaman pelaku.
UGM telah mengambil langkah administratif dengan membebastugaskan dan kemudian memberhentikan Prof. Edy Meiyanto dari jabatannya sebagai dosen. Tindakan ini merupakan respons terhadap pelanggaran kode etik dosen dan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Namun, sanksi administratif saja dinilai tidak cukup untuk memberikan keadilan yang seutuhnya bagi para korban. Desakan agar kasus ini diproses secara hukum pidana semakin menguat.
Secara hukum, perbuatan yang diduga dilakukan Prof. Edy Meiyanto berpotensi melanggar sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya. UU TPKS memberikan ancaman hukuman yang lebih berat bagi pelaku kekerasan seksual, terutama jika dilakukan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau berulang kali.
Namun, tidak semua korban bersedia melaporkan kasus ini ke polisi. Trauma mendalam, prosedur hukum yang rumit dan berpotensi menimbulkan tekanan psikologis tambahan menjadi beberapa alasan keengganan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia masih belum sepenuhnya ramah terhadap korban kekerasan seksual. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu berbenah diri untuk memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan dan keadilan tanpa harus menghadapi beban tambahan.
Meski demikian, penolakan korban untuk menempuh jalur pidana tidak boleh menjadi penghalang bagi penegakan hukum. Aparat kepolisian dapat melakukan penyelidikan secara proaktif berdasarkan laporan dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM. Asas inquisitorial dalam hukum pidana memungkinkan aparat hukum untuk bertindak berdasarkan informasi awal, tanpa harus menunggu aduan dari korban.
Selain penegakan hukum, penguatan sistem pendampingan bagi korban kekerasan seksual juga sangat penting. Pendampingan psikologis, bantuan hukum gratis, dan perlindungan saksi harus menjadi prioritas. Institusi pendidikan harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa, bukan tempat terjadinya kekerasan seksual. Kasus ini menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Upaya hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus akan menjadi tolok ukur keseriusan Indonesia dalam memberantas kejahatan ini. Ketidaktegasan dalam penegakan hukum hanya akan mengirimkan pesan bahwa pelaku kekerasan seksual dapat lolos dari jerat pidana dan berpotensi melakukan tindakan serupa di masa depan. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana harus menjadi prioritas utama, demi keadilan bagi korban dan pencegahan kasus serupa di masa mendatang.
Langkah cepat dan tegas dari pihak kepolisian sangat diperlukan untuk menciptakan efek jera dan memberikan rasa aman bagi masyarakat, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi. Keberpihakan negara terhadap korban harus ditunjukkan secara nyata, bukan hanya melalui pernyataan-pernyataan normatif.
- Dukungan psikologis yang berkelanjutan bagi para korban
- Jaminan keamanan dan perlindungan bagi para saksi
- Sosialisasi UU TPKS secara masif di lingkungan kampus
- Peningkatan kapasitas Satgas PPKS di seluruh perguruan tinggi