Praktik Kepabeanan Indonesia Dikhawatirkan AS, Picu Hambatan Perdagangan
Sorotan Tajam AS terhadap Sistem Kepabeanan Indonesia: Hambatan Perdagangan dan Ketidakpastian
Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) melayangkan kritik pedas terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Indonesia. Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025, USTR menyoroti berbagai permasalahan yang dialami perusahaan-perusahaan AS saat berinteraksi dengan sistem kepabeanan Indonesia, yang dinilai menghambat kelancaran perdagangan bilateral.
Salah satu poin utama yang menjadi perhatian adalah praktik penggunaan harga referensi oleh petugas Bea Cukai dalam menilai barang impor, alih-alih menggunakan nilai transaksi yang seharusnya menjadi acuan utama sesuai dengan Perjanjian Penilaian Bea Cukai (Customs Valuation Agreement/CVA) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan dianggap tidak sesuai dengan standar internasional.
Selain itu, USTR juga menyoroti inkonsistensi dalam penilaian barang impor yang identik di berbagai wilayah Indonesia. Perbedaan interpretasi dan penerapan aturan kepabeanan antar daerah menciptakan kebingungan dan biaya tambahan bagi eksportir AS. "Perusahaan-perusahaan AS secara rutin melaporkan kendala terkait praktik bea cukai Indonesia, terutama dalam hal penilaian bea masuk," demikian pernyataan USTR dalam laporannya.
Regulasi yang Dipertanyakan dan Dugaan Insentif yang Bermasalah
USTR juga mengkritisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2021 yang mewajibkan verifikasi pra-pengiriman untuk sejumlah produk, termasuk elektronik, alas kaki, mainan, makanan dan minuman, serta kosmetik, oleh perusahaan surveyor yang ditunjuk. USTR menyoroti bahwa Indonesia belum memberitahukan kebijakan ini kepada WTO, sebagaimana diatur dalam perjanjian pemeriksaan pra-pengiriman.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 juga tak luput dari sorotan. USTR menilai aturan ini menambah beban administratif bagi perusahaan karena mewajibkan penyimpanan dokumen tanpa memberikan penjelasan teknis yang memadai. AS telah menyampaikan kekhawatiran terkait aturan ini di Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.
Lebih lanjut, USTR menyoroti sistem pemberian imbalan kepada petugas DJBC yang mencapai 50 persen dari nilai barang sitaan atau bea terutang. Praktik ini dinilai bertentangan dengan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, yang menekankan pentingnya menghindari insentif berlebihan dalam penilaian atau pengenaan denda. USTR khawatir kebijakan ini membuka potensi korupsi, meningkatkan biaya, serta menciptakan ketidakpastian dan kurangnya transparansi dalam sistem kepabeanan Indonesia. "Indonesia adalah salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih menerapkan sistem insentif semacam itu," tegas USTR.
Respon DJBC dan Komitmen untuk Perbaikan
Merespon kritikan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan telah melakukan koordinasi dan komunikasi secara berkala dengan pihak AS terkait mekanisme perdagangan antara kedua negara. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa pihaknya terus berupaya memperkuat pelayanan dan pengawasan kepabeanan di Indonesia. "Penguatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan ini akan disampaikan kepada USTR melalui tim delegasi sebagai bahan tambahan untuk perundingan tarif perdagangan dengan AS," ujar Nirwala.