Misteri Stasiun Cikajang: Dulu Primadona, Kini Terlupakan di Ketinggian Garut
Stasiun Cikajang, yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyimpan cerita panjang tentang kejayaan transportasi kereta api di masa lalu. Berdiri gagah di ketinggian 1.246 meter di atas permukaan laut (mdpl), stasiun ini dulunya dikenal sebagai stasiun tertinggi di Indonesia. Namun, sejak tahun 1982, denyut kehidupan di stasiun ini berhenti berdetak, seiring dengan penutupan jalur Cibatu-Garut-Cikajang.
Sebelum masa kelam itu tiba, jalur kereta api Cibatu-Garut-Cikajang merupakan urat nadi perekonomian dan transportasi di wilayah Priangan. Jalur yang selesai dibangun pada tahun 1930 ini, menurut Djoko Setijowarno dari MTI Pusat, merupakan proyek yang sangat sulit pada masanya. Bagaimana tidak, jalur ini harus menembus pegunungan terjal, sehingga hanya lokomotif-lokomotif bertenaga besar seperti CC10, CC50, D14, dan DD52 yang mampu melintasinya.
Pada era 1970-an, jalur Cibatu-Garut-Cikajang mencapai puncak kejayaannya. Kereta api menjadi primadona, menarik perhatian para pecinta kereta api dari berbagai penjuru, baik dalam maupun luar negeri. Jalur sepanjang 47 kilometer dari Cibatu ke Cikajang, dengan 28 kilometer di antaranya menghubungkan Garut dan Cikajang, menjadi saksi bisu perjalanan panjang tersebut. Stasiun-stasiun seperti Wanaraja, Karangpawitan, Garut, Samarang, Kamojan (922 mdpl), Bayongbong (997 mdpl), dan Cisurupan (1.216 mdpl) turut meramaikan jalur ini.
Stasiun Cikajang tidak hanya berfungsi sebagai tempat naik turun penumpang. Lebih dari itu, stasiun ini memegang peranan penting dalam pengiriman hasil perkebunan, terutama teh. Cikajang, sebagai salah satu daerah penghasil teh terbesar di Garut, sangat terbantu dengan adanya jalur kereta api ini. Teh dan hasil pertanian lainnya dapat diangkut dengan mudah dan efisien. Pada masa itu, bangsa Belanda mendirikan sekitar lima perkebunan teh di Cikajang, yaitu Giriwas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan, dan Darajat.
Jalur KA Cibatu-Garut-Cikajang merupakan jalur percabangan yang menghubungkan Stasiun Cibatu dengan Stasiun Cikajang melewati Kota Garut. Sebagian dari jalur ini, yaitu Cibatu-Garut sepanjang 19,3 kilometer, telah diaktifkan kembali dan beroperasi sejak 22 Maret 2022. Reaktivasi ini dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) selama dua tahun (2019-2022). Jalur Garut-Cibatu sendiri pertama kali dibuka pada tahun 1889 dan berhenti beroperasi pada tahun 1983.
Gubernur Jawa Barat, Dede Mulyadi memiliki gagasan untuk mengaktifkan kembali seluruh jaringan kereta api di Jawa Barat, termasuk jalur yang melewati Stasiun Cikajang. Menurut Djoko, reaktivasi jalur ini dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian dan pariwisata daerah Garut, serta membangkitkan kembali potensi pariwisata dan perekonomian masyarakat Priangan.
Namun, Djoko mengingatkan bahwa reaktivasi jalur kereta api bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan tekad yang kuat dan anggaran yang memadai. Mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) saja tidak akan cukup. Provinsi Jawa Barat masih memiliki prioritas lain, seperti pembangunan jaringan jalan di daerah-daerah yang perlu segera diselesaikan.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian (2010), terdapat 14 jalur KA non-aktif di Provinsi Jawa Barat. Selain Cibatu-Garut-Cikajang, jalur-jalur tersebut meliputi:
- Banjar-Cijulang (83 kilometer)
- Cikudapateh-Ciwidey (27 kilometer)
- Dayeuhkolot-Majalaya (18 kilometer)
- Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari (12 kilometer)
- Cirebon-Jamblang-Jatiwangi-Kadipaten (67 kilometer)
- Mundu-Ciledug-Losari (40 kilometer)
- Jatibarang-Indramayu (19 kilometer)
- Cikampek-Cilamaya (28 kilometer)
- Cikampek-Wadas (16 kilometer)
- Kerawang-Lamaran-Rengasdengklok (21 kilometer)
- Lamaran-Wadas (15 kilometer)
- Mundu-Ciledug-Losari (40 kilometer)
- Tasiksmalaya-Singaparna (17 kilometer)
Djoko menekankan bahwa membangun kembali jaringan rel yang sudah lama tidak beroperasi tidak hanya membutuhkan anggaran untuk pekerjaan fisik. Perlu juga memikirkan solusi bagi warga yang telah menempati lahan di sepanjang jalur dan stasiun. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu dilibatkan untuk menyediakan permukiman baru bagi warga yang terkena dampak reaktivasi.
"Permukiman sebaiknya tidak jauh dengan tempat tinggal sekarang. Kalaupun jauh, masih disediakan akses layanan angkutan umum. Agar warga yang menghuni mudah mobilitas ke pusat ekonomi (pasar)," kata Djoko. Ia berharap reaktivasi jalan rel di Jawa Barat dapat segera terwujud, menghidupkan kembali kenangan masa lalu dan memberikan manfaat bagi masyarakat.