Menimbang Sistem Pemilu Campuran: Solusi Inklusif untuk Demokrasi Indonesia?

Pemerintahan Indonesia dihadapkan pada momentum krusial untuk meninjau ulang sistem pemilihan umum (pemilu). Wacana revisi Undang-Undang Pemilu mencuat sebagai respons terhadap dinamika politik kepartaian, kebutuhan konsolidasi lembaga, dan upaya menyelesaikan masalah teknis dan politis yang berulang dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

Sistem Pemilu: Lebih dari Sekadar Prosedur

Perdebatan tentang sistem pemilu bukan hanya soal teknis, melainkan menyangkut arah demokrasi yang ingin dibangun. Sistem pemilu memengaruhi bagaimana suara pemilih diterjemahkan menjadi kekuasaan politik, siapa yang memiliki perwakilan di parlemen, dan siapa yang terpinggirkan dari proses representasi. Secara garis besar, terdapat dua sistem utama yang digunakan di berbagai negara:

  • Sistem Pluralitas/Mayoritas (Distrik): Satu daerah pemilihan untuk satu kursi. Kandidat dengan suara terbanyak terpilih. Keunggulannya adalah kedekatan wakil rakyat dengan pemilih dan akuntabilitas yang lebih terjamin. Namun, berpotensi menghilangkan suara pemilih yang tidak memilih pemenang dan cenderung menguntungkan partai besar, sehingga mempersempit representasi politik.
  • Sistem Proporsional: Kursi di daerah pemilihan dibagi berdasarkan proporsi suara partai. Lebih inklusif dan memberikan ruang bagi kelompok minoritas. Kelemahannya adalah fragmentasi partai dan kesulitan dalam pembentukan pemerintahan karena koalisi yang rapuh.

Sistem proporsional memiliki dua varian, yaitu daftar terbuka dan daftar tertutup. Daftar terbuka memungkinkan pemilih memilih langsung nama calon, memperkuat hubungan personal tetapi melemahkan kontrol partai dan mendorong persaingan internal. Daftar tertutup memberikan wewenang kepada partai untuk menentukan urutan calon, memperkuat partai tetapi membuka peluang dominasi elite dan praktik jual-beli nomor urut.

Indonesia pernah menerapkan kedua sistem proporsional tersebut. Sebelum era reformasi, Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Namun, pada tahun 2004, sistem proporsional terbuka diterapkan dengan harapan memperkuat demokrasi dan transparansi. Ironisnya, sistem terbuka justru memicu politik uang dan popularitas. Kandidat dengan modal besar dan akses media lebih diuntungkan, sementara kader partai yang kompeten tetapi kekurangan dana seringkali tersingkir.

Wacana untuk kembali ke sistem tertutup dapat dipahami, tetapi bukan berarti menjadi solusi tunggal. Oleh karena itu, perdebatan sistem pemilu sebaiknya tidak hanya terpaku pada pilihan terbuka atau tertutup, tetapi mencari alternatif yang menggabungkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan berbagai sistem.

Sistem Pemilu Campuran (MMP): Jalan Tengah yang Menjanjikan

Sistem pemilu campuran atau Mixed-Member Proportional (MMP) muncul sebagai alternatif yang layak dipertimbangkan. Sistem ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Jerman, Selandia Baru, dan Jepang. Keunggulan utama MMP adalah kemampuannya menjaga keseimbangan antara proporsionalitas hasil pemilu dan stabilitas sistem kepartaian.

Dalam sistem ini, pemilih diberikan dua suara: satu untuk memilih partai dalam sistem proporsional tertutup dan satu lagi untuk memilih kandidat di daerah pemilihan tunggal dengan sistem first past the post (FPTP). Kombinasi ini memungkinkan pemilih memilih calon legislatif yang dikenal secara langsung, tetapi tetap menjaga representasi proporsional di parlemen.

Sistem MMP memberikan ruang bagi pemilih untuk menyalurkan preferensi politik dengan lebih jelas. Partai tetap memiliki peran dalam menentukan kandidat, sehingga pelembagaan partai tetap terjaga. Sementara itu, FPTP memastikan keterwakilan langsung dari kandidat yang dianggap mampu mewakili daerah pemilihan.

Selain itu, MMP juga menyederhanakan sistem kepartaian tanpa ambang batas parlemen yang tinggi. Dengan separuh kursi dialokasikan melalui FPTP, hanya kandidat dengan basis suara kuat yang bisa menang, sehingga jumlah partai di parlemen akan lebih terbatas.

Penerapan Sistem MMP di Indonesia: Contoh DKI Jakarta

Contohnya, dalam Pemilu DPR di DKI Jakarta dengan 20 kursi yang diperebutkan, 10 kursi dialokasikan melalui sistem proporsional tertutup dan 10 kursi lainnya melalui sistem FPTP.

Pada tahap pertama, suara partai dikonversi ke kursi menggunakan metode Sainte-Laguë. Misalnya, Partai A mendapatkan 25% suara, maka mereka memperoleh 25% dari 10 kursi proporsional, yaitu sekitar tiga kursi.

Pada tahap kedua, 10 kursi lainnya diberikan kepada kandidat yang memenangkan suara terbanyak di 10 daerah pemilihan tunggal. Dalam sistem ini, setiap daerah pemilihan hanya memiliki satu pemenang, sehingga pemilih lebih mudah mengenali kandidat mereka.

Setelah kedua hasil ini digabungkan, partai yang mendapat lebih banyak kursi dari FPTP akan mendapatkan kursi lebih sedikit dari sistem proporsional, dan sebaliknya. Dengan cara ini, keseimbangan antara representasi partai dan keterwakilan individu tetap terjaga, tanpa membuang suara pemilih seperti dalam sistem FPTP murni.

Sistem pemilu campuran MMP menawarkan solusi bagi demokrasi Indonesia yang selama ini terjebak dalam kompleksitas sistem proporsional terbuka. Jika ingin membangun sistem yang lebih adil dan efektif, saatnya berhenti mempertahankan status quo dan mulai meretas batas menuju desain pemilu yang lebih baik. Dengan kombinasi proporsional tertutup dan FPTP, disertai pembenahan serius dan mempertimbangkan catatan evaluasi, Indonesia dapat menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana, stabil, dan representatif.