Mantan Pemain Sirkus Oriental Indonesia Ungkap Dugaan Penyiksaan dan Eksploitasi di DPR
Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) menyampaikan keluhan mereka terkait dugaan tindak eksploitasi dan penyiksaan yang mereka alami selama bekerja di sirkus tersebut. Pengaduan ini disampaikan dalam audiensi yang digelar di Komisi XIII DPR RI, Jakarta, pada hari Rabu, 23 April 2025.
Audiensi tersebut menghadirkan para korban yang didampingi oleh perwakilan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Mereka memaparkan pengalaman pahit yang dialami, mulai dari direkrut paksa sejak usia dini, hingga perlakuan tidak manusiawi yang berdampak pada hilangnya identitas dan masa depan mereka.
Vivi Nurhayadi, salah seorang korban, menceritakan bagaimana dirinya diambil dari keluarga sejak usia sangat muda dan dipaksa untuk berlatih sirkus. "Sejak usia dua tahun, saya sudah dilatih di rumah kawasan Pondok Indah. Di usia 3-4 tahun saya dibawa ke Oriental Circus. Kekerasan fisik menjadi bagian dari latihan sehari-hari. Pukulan, tendangan, dan rotan adalah hal yang biasa ketika saya tidak mampu mengikuti instruksi," ungkap Vivi dengan nada pilu.
Kisah pilu Vivi berlanjut dengan upaya pelariannya dari Taman Safari Indonesia yang berujung pada penangkapan kembali. "Setelah tiga hari menghirup udara bebas, saya ditangkap oleh petugas keamanan dan dibawa kembali. Di tengah jalan, saya sudah dipukuli dan dicaci maki. Sesampainya di lokasi, saya disetrum dengan alat kejut listrik yang digunakan untuk gajah, bahkan alat kelamin saya juga menjadi sasaran," tambahnya.
Tidak hanya penyiksaan fisik, Vivi juga mengaku pernah dipasung selama dua minggu. "Saya dirantai dan dipasung selama dua minggu. Setelah dibebaskan, saya kembali berlatih seperti biasa. Bertahun-tahun kemudian, saya kembali melarikan diri karena tidak tahan dengan penyiksaan yang terus-menerus saya alami di Taman Safari," jelasnya.
Upaya pelarian Vivi akhirnya berhasil dengan bantuan seorang teman, yang kemudian membawanya ke Semarang dan menikahinya. Setelah itu, Vivi memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang dialaminya ke Komnas HAM.
Korban lainnya, Coni Kurniasih, juga memiliki cerita serupa. Ia mengaku dijanjikan akan disekolahkan oleh OCI, namun kenyataannya ia hanya dieksploitasi dan dipaksa untuk terus berlatih tanpa pendidikan yang layak.
"Kami tidak disekolahkan dan tidak memiliki identitas. Bahkan, ketika saya keluar dari sirkus pada tahun 1986, saya tidak memiliki identitas apapun. Saat ingin menikah, saya harus membuat KTP sendiri. Saya menikah dengan wali hakim karena orang tua saya tidak ada," tutur Coni.
Coni juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah menerima gaji selama bekerja di OCI. Pihak sirkus selalu beralasan bahwa mereka telah dianggap sebagai anak angkat.
Lisa, korban lainnya, menuturkan pengalamannya diambil dari keluarga sejak kecil dan dipaksa untuk berlatih sirkus. "Saya menangis dan mencari ibu saya. Saya melihat banyak anak-anak lain yang juga berlatih sirkus. Saya pun dilatih dengan kekerasan. Setiap kali melakukan kesalahan, kami dipukul, ditampar, ditendang, dan dipukuli dengan sandal," ungkap Lisa.
Seiring berjalannya waktu, Lisa mulai melupakan orang tuanya. Ketika usianya mencapai 17 tahun, ia memberanikan diri untuk meminta identitas diri kepada Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampouw. Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah.
"Saya meminta identitas diri, tetapi tidak diberikan. Bahkan, pacar saya juga meminta identitas saya, tetapi tetap ditolak. Tony Sumampouw mengatakan 'Enak saja kamu, saya yang pelihara, kok kamu yang ambil'," jelas Lisa.
Akhirnya, Lisa memutuskan untuk keluar dari sirkus dan tidak pernah kembali lagi. "Kami tidak pernah digaji, tidak pernah disekolahkan, hanya belajar menulis dan menghitung," pungkasnya.
Kisah-kisah para mantan pemain OCI ini menjadi bukti nyata adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi anak di industri sirkus. Mereka berharap, dengan menyampaikan keluhan ini ke DPR, dapat membuka mata publik dan mendorong tindakan tegas untuk melindungi anak-anak dari praktik eksploitasi serupa di masa depan.