Indonesia Percepat Transisi Energi: 18 PLTU Diusulkan Pensiun Dini Demi Capai Target Emisi Nol

Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen kuat dalam upaya mencapai target ambisius net-zero emission (NZE) pada tahun 2060 melalui langkah strategis penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kebijakan ini secara formal tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 10 Tahun 2025, yang berfungsi sebagai peta jalan (road map) bagi transisi energi di sektor ketenagalistrikan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik inisiatif pemerintah ini. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa Permen tersebut menjadi landasan hukum yang krusial dalam mengarahkan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang berkelanjutan. Regulasi ini membuka peluang signifikan untuk mempercepat pensiun PLTU, dengan tetap memperhatikan aspek penting seperti keandalan sistem kelistrikan, biaya listrik yang terjangkau, dan prinsip transisi energi yang berkeadilan.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh IESR, untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim global dan menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 PLTU batu bara dengan total kapasitas mencapai 43,4 GW perlu dipensiunkan secara bertahap dalam rentang waktu 2022 hingga 2045. Secara khusus, IESR merekomendasikan penghentian operasional 18 PLTU dengan total kapasitas 9,2 GW pada periode 2025-2030. Dari jumlah tersebut, 8 PLTU (5 GW) merupakan milik Perusahaan Listrik Negara (PLN), sementara 10 PLTU (4,2 GW) lainnya dimiliki oleh pembangkit listrik swasta.

Dalam proses kajiannya, IESR telah mempertimbangkan berbagai faktor kunci yang sesuai dengan ketentuan dalam Permen No. 10/2025, guna mempercepat pengakhiran operasional PLTU batu bara. Faktor-faktor tersebut meliputi:

  • Usia dan kapasitas pembangkit
  • Keekonomian proyek
  • Dampak lingkungan, terutama emisi gas rumah kaca

Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian serius terhadap ketersediaan dukungan pendanaan, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk memfasilitasi percepatan pengakhiran operasional PLTU batu bara.

Fabby Tumiwa memperkirakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pensiun dini PLTU mencapai US$ 4,6 miliar hingga tahun 2030, dan meningkat menjadi US$ 27,5 miliar hingga tahun 2050. Dari total biaya tersebut, sekitar dua pertiga (US$ 18,3 miliar) berasal dari PLTU milik swasta, sementara sepertiga sisanya (US$ 9,2 miliar) berasal dari PLTU milik PLN.

Fabby menambahkan, meskipun biaya awal untuk pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjang yang akan diperoleh jauh lebih besar. Manfaat tersebut meliputi penurunan biaya kesehatan dan pengurangan subsidi PLTU, yang diperkirakan mencapai US$ 96 miliar pada tahun 2050. Ia menekankan pentingnya dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU milik PLN yang tidak efisien, mahal, dan menyebabkan polusi udara akut. Dana tersebut dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang kemudian ditambah dengan penyertaan modal negara. Dana ini selanjutnya dialokasikan untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik. Fabby mengibaratkan langkah ini sebagai memindahkan dana dari satu pos anggaran ke pos anggaran lainnya yang lebih strategis.