Penetapan Tersangka Jurnalis JAK TV, Ancaman Kebebasan Pers?

Penetapan Tersangka Jurnalis JAK TV, Ancaman Kebebasan Pers?

Penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka dalam kasus dugaan obstruction of justice memicu perdebatan sengit mengenai batasan kebebasan pers dan potensi kriminalisasi karya jurnalistik. Kasus ini bermula dari pemberitaan yang dianggap mengganggu konsentrasi penyidik Kejaksaan Agung, sebuah alasan yang dinilai janggal dan berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.

Persoalan ini berakar dari penggunaan Pasal 21 UU Tipikor yang mengatur tentang perintangan proses hukum. Pasal ini seharusnya ditujukan untuk tindakan nyata yang menggagalkan penyidikan, bukan sekadar kritik atau opini yang disampaikan melalui media. Kejaksaan Agung berpendapat bahwa pemberitaan JAK TV telah menyebabkan "gangguan konsentrasi" bagi penyidik, namun klaim ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan membuka peluang bagi kriminalisasi terhadap kritik publik.

Kritik dan Kriminalisasi

Penggunaan pasal obstruction of justice dalam kasus ini menimbulkan kekhawatiran bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap lembaga penegak hukum. Para ahli hukum berpendapat bahwa jika ada dugaan transaksi ilegal antara jurnalis dan pihak lain, seharusnya digunakan UU tentang Tindak Pidana Suap, bukan pasal yang dirancang untuk mengatasi intervensi langsung terhadap proses peradilan.

Berikut beberapa poin penting terkait permasalahan ini:

  • Ancaman Kebebasan Pers: Penetapan tersangka terhadap jurnalis atas dasar pemberitaan yang dianggap mengganggu penyidikan dapat mengancam kebebasan pers dan membuka celah bagi kriminalisasi karya jurnalistik.
  • Potensi Penyalahgunaan Pasal: Penggunaan pasal obstruction of justice secara serampangan dapat menjadi alat untuk membungkam kritik dan membatasi ruang gerak media dalam mengawasi kinerja pemerintah dan lembaga penegak hukum.
  • Pentingnya Pemisahan Kritik dan Tindak Pidana: Kritik terhadap lembaga penegak hukum seharusnya tidak disamakan dengan tindakan pidana. Jika ada dugaan pelanggaran etika jurnalistik atau penyalahgunaan wewenang, mekanisme yang lebih tepat adalah melalui Dewan Pers, bukan melalui penyidikan pidana.
  • Asas Subsidiaritas dan Ultimum Remedium: Hukum pidana seharusnya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) setelah upaya lain tidak efektif. Dalam kasus yang melibatkan potensi penyalahgunaan wewenang jurnalistik, Dewan Pers adalah forum yang paling relevan.

Kebebasan pers dan penegakan hukum seharusnya berjalan beriringan, bukan saling bertentangan. Hukum seharusnya digunakan untuk menegakkan keadilan, bukan untuk melindungi kenyamanan kekuasaan. Penafsiran yang longgar terhadap obstruction of justice dapat membuka pintu bagi otoritarianisme hukum dan mengancam kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Negara hukum yang sehat membutuhkan kontrol terhadap kekuasaan, termasuk melalui jurnalisme. Budaya antikritik dan tafsir pasal yang lentur terhadap mereka yang bersuara hanya akan merusak fondasi demokrasi.

Kasus ini menjadi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap kebebasan pers dan supremasi hukum. Penting bagi aparat penegak hukum untuk bertindak hati-hati dan menghindari penggunaan pasal obstruction of justice secara berlebihan yang dapat mengancam kebebasan berekspresi dan membungkam suara-suara kritis.