Kasus Dugaan Pencabulan di Ponpes Lombok Barat: Jumlah Korban Bertambah, Polisi Percepat Penetapan Tersangka

Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang ketua yayasan pondok pesantren (ponpes) di Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, memasuki babak baru. Tim penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Mataram kini menangani sepuluh laporan dari korban yang diduga menjadi sasaran tindak asusila oleh pelaku yang berinisial AF.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Mataram, Ajun Komisaris Polisi Regi Halili, mengungkapkan bahwa dari sepuluh korban yang melapor, sembilan di antaranya merupakan alumni ponpes yang mengaku menjadi korban pencabulan. Sementara itu, satu orang lainnya mengaku mengalami persetubuhan. Pihak kepolisian kini tengah berupaya mempercepat proses penetapan AF sebagai tersangka dalam kasus ini. Penahanan terhadap AF telah dilakukan untuk mencegah yang bersangkutan melarikan diri dan juga untuk mempertimbangkan faktor keamanan.

"Total ada sepuluh orang korban, sembilan orang menjadi korban pencabulan dan satu orang menjadi korban persetubuhan," ujar AKP Regi Halili.

AKP Regi Halili menegaskan bahwa status AF saat ini masih sebagai saksi. Namun, dalam waktu dekat, status tersebut akan ditingkatkan menjadi tersangka. Pihak kepolisian masih memerlukan pemeriksaan lanjutan terhadap para korban untuk melengkapi berkas perkara sebelum penetapan tersangka dilakukan secara resmi.

"Jika korban bersedia hadir hari ini untuk memberikan keterangan tambahan, kami akan langsung menetapkan AF sebagai tersangka pada hari ini juga," tegasnya.

Kasus ini mencuat setelah adanya laporan dari sejumlah alumni santriwati yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh AF. Para korban mengaku termotivasi untuk melaporkan kejadian ini setelah menonton serial 'Bidaah', sebuah drama asal Malaysia yang viral di media sosial. Mereka menilai bahwa karakter AF memiliki kemiripan dengan tokoh Walid yang digambarkan dalam serial tersebut. Dugaan pelecehan seksual ini disebut-sebut terjadi di beberapa lokasi yang berbeda, termasuk di kamar, ruangan, dan tempat-tempat tertentu di lingkungan pondok pesantren.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan respons terhadap maraknya kasus kekerasan seksual di wilayah tersebut. Anggota Komisi V DPRD NTB, Didi Sumardi, menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini dan menyebutnya sebagai kondisi darurat. Ia mendesak Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan dan perlindungan anak di NTB.

"Saya sangat prihatin dengan adanya fenomena dan fakta ini, ini darurat. Oleh karena itu, kita harus segera lakukan evaluasi secara menyeluruh dan membangun SOP bagaimana perlindungan, agar tidak terjadi lagi (kasus) kekerasan seksual di wilayah mana saja," kata Didi Sumardi.

Menurut Didi Sumardi, evaluasi menyeluruh ini harus melibatkan berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ia juga menekankan pentingnya peran serta Kementerian Agama (Kemenag) serta bupati/wali kota se-NTB dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.

Tingginya angka kasus kekerasan seksual di NTB saat ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang bersekolah di lembaga pendidikan. Didi Sumardi berharap agar pemerintah daerah dapat segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.

"Saya khawatir terjadi ketakutan berlebih bagi masyarakat, (nanti sampai ada yang) berpikir anaknya aman nggak ya (sekolah di sana)," tandasnya.