Pedagang Kecil Bali Gelisah Menanti Larangan AMDK Plastik: Ancaman Pendapatan di Tengah Pariwisata

Pesisir Pantai Bangsal di Sanur, Bali, menjadi saksi bisu kegelisahan Vera (39), seorang pedagang kaki lima yang telah menggantungkan hidupnya selama 14 tahun di sana. Di bawah terik matahari yang menyengat, ia melayani para wisatawan yang menikmati keindahan pantai yang terkenal dengan pemandangan matahari terbitnya. Namun, di balik senyum ramahnya, tersimpan kekhawatiran mendalam terkait kebijakan baru Pemerintah Provinsi Bali yang melarang penjualan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) berukuran di bawah 1 liter.

Bagi Vera, larangan ini bukan sekadar perubahan kecil dalam jenis barang dagangan. Ini adalah ancaman nyata terhadap mata pencahariannya. Ia berpendapat bahwa sebagai pedagang kecil, ia hanya mampu menjual produk yang terjangkau oleh masyarakat luas. Beralih ke air kemasan botol kaca, seperti yang disarankan oleh sebagian pihak, bukanlah pilihan yang realistis baginya. Modal yang tidak mencukupi dan harga jual yang pasti lebih tinggi menjadi penghalang utama.

"Aturan itu bukan memberikan solusi, tapi malah memusingkan rakyatnya," keluhnya, mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan yang dianggap tidak memihak kepada pedagang kecil.

Pendapatan Vera sangat bergantung pada jumlah wisatawan yang berkunjung. Pada hari libur, ia bisa menjual lebih dari 60 botol air kemasan ukuran 600 mililiter. Larangan penjualan AMDK kecil akan secara signifikan mengurangi potensi pendapatannya, terutama di saat ekonomi yang masih belum stabil.

Vera bukan satu-satunya yang merasa cemas. Ni Wayan Werdi (60), seorang pedagang asongan di Lapangan Puputan, Denpasar, juga merasakan hal yang sama. Ia berharap pemerintah membatalkan larangan tersebut, terutama di tengah kesulitan ekonomi yang semakin meningkat.

"Kalau pedagang ya harapannya bisa berjualan. Ini apa-apa (harga kebutuhan pokok) naik, untuk kegiatan upacara naik, susah," ujarnya, menggambarkan betapa beratnya beban hidup yang harus ditanggung.

Werdi menjual AMDK di bawah 1 liter dan berbagai minuman kemasan lainnya kepada para pengunjung yang berolahraga di lapangan. Hasil jualannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai pendidikan keempat anaknya. Larangan penjualan AMDK kecil akan membuatnya semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.

Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih yang menjadi dasar larangan penjualan AMDK plastik di bawah 1 liter. Gubernur Bali, Wayan Koster, menargetkan bahwa aturan ini akan efektif sepenuhnya dalam waktu dua tahun. Produsen diharapkan sudah berhenti mendistribusikan minuman kemasan di bawah satu liter pada Desember 2025, dan pada Januari 2026, minuman tersebut diharapkan sudah tidak beredar lagi di pasaran.

Namun, bagi para pedagang kecil seperti Vera dan Werdi, target tersebut justru menjadi momok yang menakutkan. Mereka khawatir akan kehilangan sumber pendapatan utama mereka di tengah ketidakpastian ekonomi yang melanda. Mereka berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan, yang tidak hanya berfokus pada lingkungan tetapi juga memperhatikan nasib para pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya pada pariwisata Bali.

Berikut poin-poin penting yang menjadi sorotan:

  • Keresahan Pedagang Kecil: Kebijakan larangan AMDK kecil memicu kekhawatiran di kalangan pedagang kecil di Bali.
  • Dampak Ekonomi: Pedagang khawatir akan penurunan pendapatan dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
  • Alternatif yang Tidak Realistis: Beralih ke botol kaca dianggap tidak memungkinkan karena keterbatasan modal dan harga jual yang lebih tinggi.
  • Target Pemerintah: Pemerintah menargetkan larangan efektif dalam dua tahun, dengan harapan menekan penggunaan sampah plastik.
  • Harapan Pedagang: Pedagang berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dan mencari solusi yang lebih adil.