Terpuruknya Ekonomi Jepang Picu Peningkatan Wisata Seks: Eksploitasi Turis Asing Marak
Terpuruknya Ekonomi Jepang Picu Peningkatan Wisata Seks: Eksploitasi Turis Asing Marak
Praktek prostitusi yang menyasar wisatawan mancanegara di Jepang mengalami lonjakan signifikan, dipicu oleh himpitan ekonomi pasca pandemi dan melemahnya nilai tukar Yen. Fenomena ini semakin diperparah dengan viralnya konten-konten promosi di media sosial, yang menarik minat para turis untuk mencari pengalaman seksual di Negeri Sakura.
Sejumlah pekerja seks komersial (PSK) di Jepang, terutama di kawasan wisata populer seperti Taman Okubo di Shinjuku, Tokyo, kini lebih memilih melayani turis asing karena keuntungan yang lebih besar. Ria (nama samaran), seorang PSK independen di Taman Okubo, mengungkapkan bahwa turis asing cenderung tidak menawar harga dan dianggap lebih aman dari risiko penggerebekan polisi.
"Saya lebih memilih klien asing karena mereka tidak menawar dan kecil kemungkinan mereka adalah polisi," ujarnya.
Tarif yang ditawarkan berkisar antara 15.000 hingga 30.000 Yen (sekitar Rp 1,7 juta hingga Rp 3,5 juta), dan dapat lebih rendah tergantung pada situasi. Untuk mengatasi kendala bahasa, Ria menggunakan aplikasi penerjemah saat bernegosiasi dengan turis dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan, China, Amerika Serikat, dan Eropa.
Azu (19), PSK lainnya, mengaku dapat menghasilkan hingga 20.000 Yen (sekitar Rp 2,4 juta) per jam untuk layanan dengan kondom. Ia mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat lokal yang membuat klien domestik lebih sering menawar dan enggan membayar harga penuh.
Investigasi dari Japan Today mengungkap adanya keterlibatan calo dan germo dalam menawarkan jasa seksual perempuan Jepang kepada turis asing. Reporter majalah Shukan Post menemukan praktik ini di kawasan hiburan malam Kabukicho, Shinjuku. Dalam sebuah kasus, seorang turis asing dibawa ke lantai enam sebuah gedung untuk menerima layanan seksual yang diklaim "bernuansa Jepang".
Polisi Tokyo baru-baru ini menangkap Kazuki Sudo (54), pemilik toko seks Sparaku, yang secara terbuka melayani turis asing. Sudo mengakui bahwa perusahaannya menghasilkan pendapatan hingga 1,1 miliar Yen, dengan 60 hingga 70 persen omzet berasal dari wisatawan. Dalam penggerebekan, polisi menemukan uang dari 16 negara, termasuk dolar AS, Yuan, dan Peso.
Sparaku diduga merekrut pekerja dari kalangan pelacur jalanan di Taman Okubo. Namun, peningkatan patroli polisi sejak Oktober lalu memaksa mereka untuk pindah ke lokasi yang lebih tersembunyi.
Melemahnya nilai tukar Yen menjadi faktor utama pemicu lonjakan wisata seks di Jepang. Tarif layanan seksual menjadi relatif murah bagi turis asing, sementara operator jasa seringkali menetapkan harga yang lebih tinggi bagi mereka.
"Sudah pasti turis asing akan dikenakan biaya 20.000 hingga 30.000 Yen. Beberapa germo bahkan dapat membujuk mereka untuk membayar 100.000 Yen untuk satu jam," kata seorang karyawan toko alat-alat seks.
Menurut Arata Sakamoto, kepala organisasi nirlaba Rescue Hub, banyak perempuan muda yang terjerumus ke dalam industri seks akibat tekanan ekonomi pasca pandemi. Beberapa korban mengalami kekerasan, pelecehan digital, direkam tanpa izin, dan tidak dibayar. "Sebagian dari mereka mengalami gangguan fisik dan mental," ujarnya.
Lonjakan wisatawan yang mencari pengalaman seksual juga dipicu oleh konten viral di media sosial seperti TikTok dan Bilibili. Banyak dari mereka datang dengan informasi lengkap tentang layanan dewasa di Jepang dan siap membayar lebih untuk layanan khusus.
Prostitusi secara hukum dilarang di Jepang, namun banyak praktik yang berjalan di celah legalitas, seperti layanan panggilan atau toko hiburan dewasa yang menggunakan istilah samar.