Mbok Yem, Ikon Kuliner Gunung Lawu, Berpulang
Gunung Lawu berduka. Wakiyem, atau yang lebih dikenal dengan Mbok Yem, sosok legendaris pemilik warung tertinggi di gunung tersebut, menghembuskan nafas terakhirnya pada Rabu, 23 April 2025. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi para pendaki yang selama ini menjadikan warungnya sebagai oase di tengah pendakian.
Mbok Yem bukan sekadar penjual makanan. Warungnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman mendaki Gunung Lawu. Bagi banyak pendaki, belum lengkap rasanya mendaki Lawu tanpa mampir dan menikmati hidangan sederhana namun menghangatkan di warung Mbok Yem. Lokasinya yang strategis, nyaris di puncak gunung, menjadikannya tempat ideal untuk beristirahat, mengisi tenaga, dan bersilaturahmi dengan sesama pendaki.
Heri Susanto, seorang pendaki asal Sukoharjo, mengenang pengalamannya pertama kali mengunjungi warung Mbok Yem pada tahun 2014. Saat itu, warung Mbok Yem menjadi tujuan utama pendakiannya. Ia dan rombongannya bahkan tidak membawa tenda karena sudah mengincar shelter di sekitar warung sebagai tempat bermalam.
"Pendakian itu Mbok Yem sebagai tujuan camp karena di sana ada shelter-shelter untuk menginap. Kami mendaki tidak membawa tenda," ujarnya.
Menurut Heri, pada masa itu hanya ada dua warung di area tersebut, yaitu warung Mbok To dan Mbok Yem. Namun, warung Mbok Yem lah yang paling populer di kalangan pendaki. Selain lokasinya yang lebih dekat dengan puncak, Mbok Yem juga dikenal rajin berjualan, hampir tidak pernah libur kecuali pada hari-hari besar.
"Paling terkenal tetap Mbok Yem. Karena dia berjualan di gunung. Kan tempat Mbok Yem itu hampir di puncak, sedangkan Mbok To agak jauh dari puncak dan kurang strategis untuk istirahat. Selain itu, Mbok To itu sering libur, sementara Mbok Yem infonya tidak pernah libur, kecuali pada hari besar seperti hari raya," jelasnya.
Selain keramahannya, harga makanan di warung Mbok Yem juga dikenal terjangkau. Nasi pecel telur menjadi menu favorit banyak pendaki. Heri, yang merupakan lulusan Etnomusikologi ISI Surakarta, menilai harga tersebut sangat wajar mengingat sulitnya akses logistik ke warung di ketinggian tersebut.
"Karena melihat akses logistik ke sana juga sulit, harga segitu tergolong murah. Waktu itu, nasi pecel telur harganya di bawah Rp 20.000. Selain pecel, kita juga dapat tempe. Untuk minum, harganya berbeda," ungkapnya.
Kenangan pertama Heri di warung Mbok Yem menjadi yang paling berkesan. Ia bercerita tentang kekagumannya pada sosok Mbok Yem yang mampu berjualan di tempat terpencil. Ia juga sering berbincang dengan para porter untuk mengetahui lebih banyak tentang sejarah warung tersebut.
"Sudah banyak kalau mampir. Paling berkesan ya pertama itu. Awal-awal itu ngobrol. Dulu kan seperti orang awam kagum dengan Mbok Yem. Kok bisa jualan di sini? Sejak kapan? Cerita awalnya sudah saya lupakan, tapi saya juga ngobrol dengan porter-porter," kenangnya.
Best Haryanto, seorang Relawan Anak Gunung Lawu (AGL), juga memiliki kenangan tentang warung Mbok Yem sejak tahun 1998. Ia menduga warung tersebut sudah ada sejak tahun 1980-an.
"1998 aku naik itu sama orang tua, dan warung itu sudah ada di sana. Mungkin jualannya sudah ada sejak tahun 1980-an," kata Best.
Popularitas Mbok Yem pun merambah ke media sosial. Banyak pendaki yang mengunggah konten tentangnya, mengabadikan sosoknya dan warungnya sebagai bagian dari pengalaman mendaki Gunung Lawu.
Kepergian Mbok Yem meninggalkan duka, namun semangat dan dedikasinya akan terus dikenang oleh para pendaki. Warungnya bukan hanya sekadar tempat mengisi perut, tetapi juga tempat beristirahat, bersilaturahmi, dan merasakan kehangatan di tengah dinginnya gunung.
Ucapan terima kasih dan doa pun mengalir dari para pendaki untuk Mbok Yem, sosok sederhana yang telah memberikan kontribusi besar bagi dunia pendakian Gunung Lawu.
Selamat jalan, Mbok Yem. Jasamu akan selalu kami kenang.