Migrasi Transnasional di Era Digital: Peran Media Sosial dalam Membentuk Aspirasi dan Perilaku Kolektif
Migrasi Transnasional di Era Digital: Peran Media Sosial dalam Membentuk Aspirasi dan Perilaku Kolektif
Fenomena migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri bukanlah hal baru. Namun, dinamika migrasi ini telah mengalami transformasi signifikan di era digital, khususnya dengan semakin meluasnya penggunaan media sosial. Gerakan daring seperti #kaburajadulu, yang menyerukan migrasi keluar negeri sebagai respon terhadap ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri, menjadi bukti nyata pengaruh media sosial terhadap keputusan migrasi. Jika dua dekade lalu, arus migrasi didominasi oleh individu dengan akses dan modal yang memadai, kini akses informasi dan komunikasi yang dimudahkan teknologi digital telah menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, membuat migrasi terasa lebih 'terjangkau' dan 'terukur'.
Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai penyedia informasi mengenai negara tujuan migrasi, tetapi juga sebagai platform komunikasi, pertukaran pengalaman, dan pembentukan jejaring sosial di antara para calon migran dan mereka yang telah menetap di luar negeri. Informasi mengenai peluang kerja, upah, dan kondisi sosial ekonomi di negara tujuan tersebar luas, seringkali disampaikan secara personal melalui unggahan video, foto, dan cerita dari para migran yang telah sukses. Hal ini turut membentuk persepsi positif dan meningkatkan daya tarik migrasi. Penelitian Pusat Riset Kependudukan BRIN (2018-2019) di Batam, misalnya, mengonfirmasi peran teknologi komunikasi dalam memfasilitasi pengumpulan informasi negara tujuan dan koneksi dengan komunitas asal.
Faktor Pendorong dan Penarik Migrasi di Era Media Sosial
Teori dorong-tarik (Lee, 1966) menjelaskan migrasi sebagai interaksi antara faktor pendorong (dari negara asal) dan faktor penarik (dari negara tujuan). Di Indonesia, faktor pendorong meliputi: ketidakstabilan ekonomi, tingginya angka pengangguran, rendahnya upah, dan terbatasnya kesempatan pendidikan dan pengembangan profesional. Sementara itu, faktor penarik mencakup: prospek ekonomi yang lebih baik di luar negeri, termasuk upah yang lebih tinggi dan peluang karier yang lebih luas, serta adanya komunitas migran yang telah mapan yang memberikan rasa aman dan dukungan (Schumann dkk., 2019).
Media sosial berperan krusial dalam memperkuat kedua faktor tersebut. Informasi mengenai faktor pendorong – seperti ketidakstabilan politik dan ekonomi – tersebar luas dan dapat memicu keinginan untuk mencari alternatif kehidupan yang lebih stabil. Sebaliknya, informasi mengenai faktor penarik – seperti peluang kerja dan standar hidup yang lebih baik – dipresentasikan secara menarik dan seringkali diidealkan, menimbulkan aspirasi dan keinginan untuk bermigrasi.
Aspek Emosional dan Psikologis Migrasi
Lebih jauh lagi, media sosial juga memengaruhi aspek emosional dan psikologis migrasi. Unggahan dengan tagar #kaburajadulu, misalnya, tidak hanya menampilkan informasi faktual, tetapi juga emosi dan aspirasi para migran. Keinginan untuk berpetualang, meningkatkan status sosial ekonomi, dan mencari kualitas hidup yang lebih baik menjadi motivator utama, yang diperkuat oleh paparan terus-menerus terhadap pencapaian orang lain di media sosial (Hidayati, 2018). Platform digital juga memungkinkan calon migran untuk memvisualisasikan dan terhubung dengan gaya hidup yang diidamkan, memperkuat dorongan untuk bermigrasi.
Peran Media Sosial dalam Membangun Jaringan dan Dukungan
Selain informasi, media sosial juga membangun jaringan sosial dan dukungan emosional bagi calon migran. Komunitas daring yang terbentuk di media sosial menyediakan tempat bertukar informasi, berbagi pengalaman, dan memberikan dukungan praktis dan emosional, yang membantu mengurangi rasa keterasingan dan kesulitan adaptasi di negara baru (Hidayati, 2020). Interaksi ini penting dalam mengurangi risiko yang terkait dengan migrasi.
Upaya Perlindungan dan Edukasi
Melihat peran signifikan media sosial dalam membentuk persepsi dan perilaku migrasi, pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan edukasi migrasi yang aman dan realistis. Penting untuk mengimbangi informasi yang beredar di media sosial dengan informasi yang lebih komprehensif dan objektif, yang mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan budaya negara tujuan. Dukungan bagi komunitas migran juga perlu ditingkatkan untuk memastikan adaptasi yang lebih lancar dan mengurangi risiko eksploitasi.
Kesimpulannya, migrasi transnasional di era digital adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi antara faktor pendorong dan penarik, yang diperkuat oleh peran media sosial dalam penyebaran informasi, pembentukan jaringan sosial, dan pengaruh emosional. Pendekatan yang holistik dan kolaboratif antara pemerintah, lembaga terkait, dan komunitas migran sangat dibutuhkan untuk memastikan migrasi yang aman dan terlindungi.